Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Monumen Tolikara

22 Juli 2015   04:45 Diperbarui: 22 Juli 2015   04:45 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kota Karubaga-Tolikara (photo, karubagakab.go.id)"][/caption]

Tolikara, sumpah mati. Nama itu sangat asing. Hanya sedikit mulut orang pernah menyebut. Itu sebab, juga tak banyak telinga pernah mendengarnya. Tapi kini, sejak 17 Juli 2015, nyaris seluruh mulut menyebutnya. Telinga pun seringkali mendengarnya. Banyak mata dan muka orang Indonesia, bahkan dunia internasional, mengalihkan pandangannya ke sana. Oleh mata rakyat kebanyakan, terlebih mata para pemimpin negeri ini. Sepekan terakhir, seolah semua mata tak mau berkedip. Seolah perhatian tertuju ke sana. Ke Tolikara.

Tolikara, memang nama sebuah tempat. Nama daerah otonom, seluas 14.564 Km2. Kabupaten Tolikara, namanya. Terdiri empat kecamatan. Distrik Karubaga, Kanggime, Kembu dan Bokondini. Karubaga sendiri mejadi ibukota. Letaknya sangat jauh. Jauh terpencil di lereng pegunungan tertinggi dimiliki lndonesia, Puncak Jaya. Hanya bisa dicapai lewat udara menggunakan pesawat berbadan kecil. Dari kota Timika terbang empat jam. Lewat darat, tak mungkin. Harus menembus hutan belantara Papua yang masih perawan. Harus melintasi puluhan pegunungan berbatu, tebing curam dan terjal. Kadang bersalju.

***

Lokasi Tolikara memang sangat jauh. Bercuaca dingin, tapi 147.750 jiwa (Tahun 2003) mau bertahan hidup di sana. Bahkan setengah jiwa itu adalah pendatang. Bahkan orang asing, bule Nasrani, datang ke sana. Bersama kelompok Gereja Injil di Indonesia (GIDI), berseminar di sana. Bertepatan hari pelaksanaan Idul Fitri bagi ummat Islam. Laantaran tak punya toleransi. Tak mau berbagi ruang, juga waktu. Mumpung kaum Nasrani mayoritas, maka kaum Muslim harus mengalah. Tak ada yang boleh mengganggu jalannya seminar. Shalat berjamaah Idul Fitri di lapangan, harus dibatalkan. Dibubarkan dengan lemparan batu. Aparat keamanan coba melerai, tapi ikut di lawan. Tak puas, kios-kios milik penduduk di bakar. Masjid terdekat ikut terbias bara api. Terbakar. Hangus berwujud arang.

Nyala api, hari itu juga mereda di Karubaga, Tolikara. Kemarahan sekelompok kaum Nasrani, hari itu juga mereda. Sebaliknya nyala “kemarahan” orang-orang di luar Tolikara, hingga sepekan terakhir, belum mereda. Kaum Muslim “marah besar” karena tak menerima sesamanya kaum Muslim di lempari batu saat menunaikan shalat. Tak menerima Rumah Tuhan berwujud masjid ikut terbakar. Mengutuk, mencaci, bahkan ada yang coba menebar ancaman. Wajar. Tapi syukurlah, lebih banyak lagi menghalau. Banyak lagi coba meredakan. Cukuplah Poso dan Ambon, kisah memilukan terdekat, pada sumber konflik yang sama, menjadi materi pembelajar yang tiada banding, tiada tanding. Ngeri. Janganlah terulang.

***

Tolikara, sumpah mati. Jauh sekali di sana. Di ujung Timur, negeri ribuan pulau ini. Terpencil. Di pelosok kampung di lereng pegunungan tertinggi, tapi kemajuan teknologi informasi yang kini tanpa sekat, berhasil menembusnya. Konflik kecil tapi berselimut “bara api” di Tolikara, tak terbendung, tersiar sangat cepat. Konflik “sara” (suku, agama dan ras) yang membayangi kepemimpinan Orde Lama, menghantui Orde Baru, trauma di era reformasi. Konsekuensi negara kesatuan. Janganlah darah tumpah lagi, nyawa melayang lagi, hilang percuma hanya karena kekeliruan tafsir pada ajaran sendiri. Hakekat agama kata teolog, Karen Amstrong, adalah compassion. Mencintai dan mengimani Tuhan secara inklusivitas. Terbuka. Rendah hati. Rasional. Berakal sehat. Dimensi esoteric agama-agama, tidak didudukkan di bingkai seteru. Tapi dirayakan dengan prinsip teleransi. (Twelve Steps to a Compassionate Life, 2010).

Itu sebab, Tolikara sangat jauh di sana. Terpencil, tapi Kapolri harus ke sana. Datang di sana. Agar “marah besar” kaum Muslim, dari Sabang hingga Marauke, pun dunia luar, diberitau di sana. Jangan sebaliknya ditutup-tutupi. Agar dari Sabang hingga Marauke, semua penganut agama, juga mendengarnya. Bahwa tak ada manusia, penganut agama, merestui diganggu saat menjalankan ibadah. Tak merestui, rumah ibadah agamanya diusik, dibakar. Sebab itu adalah motif untuk marah. Semua manusia punya agama. Semua manusia esensinya tak mau diusik. Sekalipun tak sedang beribadah. Terlebih lagi, jika sedang beribadah. Tak hanya di Tolikara, tapi dimanapun. Maka Tolikara, adalah monumen peringatan itu. Sumpah mati.

Makassar, 22 Juli 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun