[caption id="attachment_360823" align="aligncenter" width="476" caption="Phoro: KOMPAS.com/Indra Akuntono"][/caption]
Oleh Armin Mustamin Toputiri
"Sebagai kepanjangan tangan partai, kalian adalah petugas partai. Kalau kalian enggak mau disebut petugas partai, silahkan keluar!". Pernyataan seperti itu dikemukakan Ketua Umum PDI-P, Megawati, dalam pidato penutupan Kongres IV PDI-P di Bali. Pernyataan keras seperti itu merupakan kelanjutan dari pernyataan disampaikan sebelumnya pada saat pembukaan kongres. Megawati menegaskan pada para kader partainya yang dinilai mulai tak taat asas.
Sejumlah pengamat politik menuding bahwa pernyataan keras Megawati tak lain ditujukan hanya pada Jokowi, Presiden RI yang merupakan kader PDI-P yang diusung oleh partainya dalam Pilpres RI 2014. Tak lain karena pada pidato pembukaan kongres, Megawati secara terbuka menegaskan pada Jokowi yang turut hadir sebagai peserta kongres agar dirinya tak menghianati pencalonan dirinya sebagai capres pada Pilpres 2014 yang lalu.
Beberapa bulan sebelumnya, Wakil Ketua Umum PDI-P, Puan Maharani, juga pernah pula mengeluarkan peryataan bahwa PDI-P masih bersama Jokowi dan Jokowi juga masih tetap sebagai petugas partai, masih tetap seorang kader PDI-P. Bahkan pada saat menjelang hari “H” pencoblosan Pemilu Legislatif 2014, pada pidato kampanyenya, Megawati mempertegas bahwa dirinya memerintahkan Jokowi sebagai petugas partai untuk maju sebagai capres.
Meski banyak pengamat menyesalkan isi pernyataan Megawati yang disampaikan secara terbuka seperti itu karena dianggap tak etis dalam posisi Jokowi sebagai seorang Presiden yang mestinya dijaga kewibawaannya. Tetapi Megawati telah menepisnya bahwa hukum demokrasilah yang memang mengaturnya seperti itu, yakni bahwa presiden dan wakilnya harus menjalankan garis kebijakan partai politik sebagaimana diatur dalam UU 42/2008.
Para pengamat boleh saja bersepakat dengan aturan itu, tetapi para pengamat tetap tidak sepakat jika pernyataan Megawati seperti itu disampaikan secara terbuka. Bahwa sekalipun Jokowi adalah kader PDI-P, tetapi seharusnya di sisi lain Jokowi juga mestinya ditempatkan pada posisinya sebagai seorang presiden yang telah dipilih oleh mayoritas rakyat Indonesia. Maka sejak selesainya pilpres, PDI-P seharusnya mewakafkan Jokowi sebagai milik bangsa.
Posisi sebagai petugas partai di satu sisi, serta posisi sebagai kepala negara di sisi lain, tentu saja adalah soal dilematis bagi Jokowi. Satu sisi karena pencalonannya sebagai capres adalah karena usungan partai politik, tapi sisi lain ia terpilih jadi presiden karena adanya dukungan rakyat. Namun bagi Jokowi hal seperti itu bukan dilema, seperti ia nyatakan saat kampanye pilpres, dirinya memang petugas partai, tapi jika terpilih jadi Presien RI, partai ndak ikutlah.
Jokowi boleh saja tidak menjadikan dua sisi itu sebagai dilema, tetapi bagi PDI-P tetap saja adalah dilema, bahkan bisa dinilai sebagai “penghianatan”, sebagaimana disetir pada pidato Megawati dalam pembukaan kongres. Tak lain karena Jokowi dianggap telah banyak ingkar dari maunya partai. Padahal muasal dilema itu sesunggunya karena Jokowi adalah Presiden RI pertama yang bukan penentu di internal partainya. Sebabnya ia tetaplah petugas partai.
Makassar, 15 April 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H