Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membonsai Beringin

19 Maret 2015   16:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:25 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14267586261641421066

[caption id="attachment_356388" align="aligncenter" width="521" caption="Ilustrasi: Kompas/Didie SW"][/caption]

Oleh Armin Mustamin Toputiri

Kepengurusan Partai Golkar, terbelah dua. Demikian terjadi, seperti sebelumnya diduga pasca gagalnya Ketua Umum DPP Partai Golkar, Aburizal Bakrie, menjadi kontestan Pilpres 2014, sekaligus kegagalan Partai Golkar mengusung kadernya sendiri. Namun di detik akhir jelang penutupan pendaftaran Capres/Cawapres, setelah gagal melobi, bermodal mandat diberikan Rapimnas, Aburizal Bakrie membawa dukungan Partai Golkar ke Prabowo-Hatta.

Sikap Aburizal Bakrie sontak mendapat perlawanan bahkan pembangkangan sekian kader Golkar. Dalih mereka sederhana, bukankah Prabowo-Hatta Capres/Cawapres usungan partai lain, sementara Jusuf Kalla adalah Cawapres pendamping Capres Jokowi yang didapuk PDI-P bersama koalisinya, tak lain adalah mantan Ketua Umum DPP Golkar. Tak ada dalih lain bagi Partai Golkar secara kelembagaan untuk tidak ikut mengusung kadernya sendiri.

Aburizal Bakrie berulangkali dalam rapat terbatas, menjelaskan pertimbangan kenapa Partai Golkar lebih memilih pasangan Prabowo-Hatta dibanding Jokowi-JK, tak lain karena kalkulasi politik pada saat itu. Namun sejumlah pengurus DPP Golkar tak menerima dalih itu. Mereka tetap pada pendiriannya. Membelakangi keputusan partai untuk kukuh mendukung Jokowi-JK. Akibat pembangkangan itu, Aburizal Bakrie menjatuhkan sanksi partai pada mereka.

Sanksi partai telah dijatuhkan. Capres/Cawapres usungan Partai Golkar kalah. Partai-partai terbelah dua, pengusung Jokowi-JK bersatu dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), sementara pengusung Prabowo-Hatta menyatu dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Sebagai pemenang pilpres, KIH berposisi pengawal pemerintahan, sementara KMP di pihak yang kalah berposisi menjadi pengawal negara sebagai penyeimbang, bahasa lain dari oposisi di negara liberal.

Akumulasi dari semua itu, permasalahan Partai Golkar tak lagi sebatas kekisruhan internal, tapi terakumulasi menjadi permasalahan kekuasaan negara, kelangsungan pemerintahan, serta stabilitas politik secara menyeluruh. Jika akumulasi permasalahan itu ingin diakhiri, tak ada jalan lain selain “membubarkan” KMP. Paling diincar adalah PPP dan Golkar, dua partai lama dan “tanpa Tuan”. Jika berhasil, KMP sendirinya bubar. Mati enggan, hidup tak kuasa.

Kalkulasi politik demikian, sejak mula telah masuk dalam rumusan “kalkulator” Jusuf Kalla. Itu sebab ia mengaku tak pernah gentar menghadapi perlawanan KMP. Saat terpilih menjadi Wakil Presiden RI mendampingi SBY, Jusuf Kalla punya pengalaman membonsai beringin yang ingin ber-oposisi. Melalui Munas Bali, Jusuf Kalla berhasil merebut Golkar dari tangan Akbar Tandjung, sekaligus membawa Golkar memasuki pusaran kekuasaan.

Kisah lama “membonsai beringin” berulang. Berbukti, Golkar bukan pengemis kekuasaan, tapi kekuasaan justru gentar tanpa Golkar. Ketika Golkar di tangan Aburizal Bakrie coba lagi beroposisi, kekuasaan KIH memanfaatkan kader Golkar pendukung Jokowi-JK melakukan munas tandingan. Atas kewenangan dimiliki, pemerintah KIH mengakui Agung Laksono jadi Ketua Umum. “Terima kasih, makin banyak partai mendukung pemerintah”, ujar Jusuf kalla.

Makassar, 19 Maret 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun