Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Budaya Malu di Balik Bencana Tsunami Jepang

4 April 2011   04:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:08 2279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_99581" align="aligncenter" width="560" caption="illustrasi: internet image"][/caption] Oleh Armin Mustamin Toputiri

Menyaksikan --- lewat berbagai saluran televisi --- luluh lantaknya negeri sakura Jepang akibat terjangan gempa berkekuatan 9,0 skala richter, disusul gulungan gelombang tsunami setinggi kurang lebih sepuluh meter, sungguh ironis, memilukan dan menyayat hati. Saya kira demikian nilai kemanusiaan di nurani kita semua ikut pula merasakannya. Tidak lebih kurang, sama juga pernah kita rasakan ketika sekujur wilayah Nangroe Aceh Darussalam juga diterjang gempa 8,5 skala richter serta gulungan gelombang tsunami yang menelan korban puluhan ribu jiwa.

Tapi rasa-rasanya ada keadaan lain berbeda dari dua peristiwa bencana alam memilukan itu. Ketika Aceh diterjang tsunami, berbulan-bulan --- bahkan beberapa tahun --- bangsa ini dirundung duka cita mendalam. Tapi ketika Jepang diluluh lantak tsunami, masih di tengah duka lara, pemerintahan negeri matahari terbit itu, justru menyuarakan selogan “Jepang Bangkit Lagi”. Saya kurang paham, apa ada kaitan bunyi selogan itu dengan jarangnya --- bahkan hampir tidak pernah ada --- kita menemui tayangan gambar bagaimana tragisnya korban jiwa tsunami Jepang. Tidak seperti gambar ratusan mayat bergelimpangan di Aceh.

Malah justru saya semakin dibuat takjub sekeping berita di salah satu media cetak nasional, mengisahkan bagaimana keteguhan sikap akan tanggujawab sejumlah pekerja reaktor nuklir di Daiichi Fukushima. Mereka penuh dedikasi sebagai martir melaksanakan tugas utamanya untuk merawat dan memulihkan reaktor nuklir yang baru saja meledak, meski sangat riskan untuk menjadikan nyawa mereka sebagai taruhannya. Risiko radiasi berbahaya sekejap akan memungkinkan merenggut jiwa mereka. Jangankan di area pusat pembangkit sumber datangnya arus radiasi, radius 20 kilometer lebih saja, masyarakat segera diungsikan.

***

Riskan memang, tetapi saya harus sadar untuk bisa mengerti jika itulah watak masyarakat Jepang dalam arti sesungguhnya. Watak dari sebuah masyarakat yang begitu ketat menjaga dan mampu memaknai kultur dan tradisi moyangnya. Watak dan karakter diwariskan dari zaman Tokugawa dimana kelak bertumbuh kembang pada masyarakat Jepang yang memiliki “rinri”, rasa malu mengumbar pada publik, seburuk apapun nasib menimpa mereka. Sebuah komunitas masyarakat yang tidak cengeng, pantang menyerah untuk bersedia menerima tantangan hidup sebagai takdir yang harus dijalani, apapun resiko dan konsokuensinya.

Itulah watak yang berdasar dari ajaran bushido”. Jalan kesatria pada totalitas pengabdian diri secara mutlak. Sistem nilai, moral dan etika yang bersifat altruisitik bagi kaum samurai atas dasar rasa kemanusiaan sesuai keterpaduan tiga ajaran, yakni; Budhisme, Shinto dan Konfusionisme yang bertumbuh kembang di tengah masyarakat Jepang. Menekankan sikap dasar untuk menjaga perasaan dan kehormatan diri, memiliki sopan santun dan rasa malu, nerpendirian teguh dan berani, keteguhan sikap dan kekebalan hati, kesetiaan dan memiliki harapan, bersedia menerima takdir secara pasrah, serta hidup dengan jujur dan jernih.

Bushido sebagai suatu falsafah, memang terlanjur menjadi dogma dominan pada aspek spiritual masyarakat Jepang. Meski menekankan totalitas penaklukkan, tetapi tidak berarti penaklukan dengan kekuatan fisik. Seorang samurai penganut falsafah bushido, sebelum menaklukan apa dihadapi, terlebih dahulu harus pandai menaklukkan diri sendiri. Sebab kekuatan datang justru lahir dari kemenangan menata disiplin diri. Kekuatan dengan cara inilah yang dapat menaklukkan apa saja, sekaligus mengundang simpati dan rasa hormat. Kemantapan spiritual akan totalitas tanggung jawab, justru datangnya dari prilaku halus.

***

Semangat jalan kesatria seperti itu pula yang hendak disampaikan film “The Last Samurai”. Begitu mengagumkannya film ini sehingga berulangkali saya menontonnya. Mengungkapkan bagaimana filosofi para kaum (senjata pedang) samurai --- bukan sekadar senjata pedang tetapi juga nilai dan harkat serta eksistensi diri --- yaitu bagaimana asasinya anak manusia didatangkan ke muka bumi dengan totalitas tanggung jawab untuk mencipta kemaslahatan bersama. Sebab karena itu, sebagai konsekuensinya, tidak ada alasan bagi setiap jati diri seorang samurai untuk bisa mundur dan lari dari tantangan hidup beserta resikonya.

Mundur dan lari dari tantangan hidup, sebagai konsekuensi tanggungjawab akan eksistensi kemanusiaan, adalah tidak lebih kurang sama saja mengkhianati arti kehidupan itu sendiri. Jika sampai pada batas mengkhianati arti kehidupan, maka kehidupan sendirinya kehilangan arti dan hakikatnya. Tidak lebih kurang sama saja jasad yang sudah kehilangan roh. Jasad yang telah mati. Tinggal hanya seonggok kumpulan daging yang tidak berarti dan memiliki nilai apa-apa lagi. Dan sebagaimana ajaran bushido dan falsafah seorang samurai, janganlah pernah anak manusia Jepang tiba pada batas kehidupan seperti itu.

Ajaran seperti itu, benar-benar dihayati dan diyaqini sebagai dogma sikap hidup dan sistem nilai. Makanya, jika seandainya warga Jepang menemui kegagalan dari totalitas tanggung jawab dijalani sebagai bagian dari esensi dan eksistensi kemanusiannya, tak segan-segan akan mengambil tindakan di luar kehendak untuk menghukum dirinya sendiri dengan cara seepuku atau “harakiri(menyayat perut untuk bunuh diri) sebagai taruhan atas tanggung jawab diembannya. Demikian karena masyarakat Jepang berdasar falsafah samurai, mati jauh lebih terhormat daripada hidup dengan menanggung malu.

***

Belum lagi hilang dari ingatan kita, bagaimana Jepang di tahun 1945 telah luluh lantak akibat serangan bom atom nuklir yang diledakkan tentara sekutu di Hiroshima dan Nagasaki. Tapi 50 tahun sesudahnya, Jepang bangkit lagi sebagai raksasa pengendali Asia, bahkan di dunia sekalipun. Koalisi negara sekutu yang dulunya membombardir Jepang dengan bom, tapi kini jadi jajahan Jepang melalui produk automotif. Jepang tidak membalasnya dengan serangan bom atom nuklir pula, tetapi sebagaimana ajaran bushido, sebelum menaklukan seorang samurai terlebih dahulu harus pandai menaklukkan diri sendiri. Itulah fakta yang terjadi.

Saat bertetapatan di tahun 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya untuk terbebas belenggu penjajah. Tapi 60 tahun kemudian saat Jepang telah menguasai separuh dunia, Indonesia seolah masih terbelenggu penjajahan. Terseok menata perekonomian dan sistem politiknya yang seolah tak berujung. Sebabnya karena terbelenggu “penjajahan” dari warga negara sendiri. Kehilangan akal untuk merumuskan strategi kebudayaannya sebagai penentu identitas dan karakter diri masyarakatnya. Tidak memiliki rasa malu seperti dimiliki masyarakat Jepang untuk tidak merampas hak publik menjadi keuntungan pribadi.

Padahal andaikan negeri ini mau belajar pada Jepang, bencana alam yang mendera hampir seluruh wilayah tanah air beberapa tahun terakhir, mestinya dijadikan media pembelajar untuk merumuskan strategi kebudayaan berdasar kearifan lokal dimiliki beribu suku bangsa di Indonesia. Pada suku Bugis-Makassar misalnya, falsafah “siri’” yang maknanya sama saja “rinri” di Jepang, yaitu rasa malu. Siapa tidak memiliki rasa malu dianggap manusia yang memiliki kualitas minimal (minimum quality of a human being). Tapi sayang rasa malu masih kita maknai secara parsial, sehingga kita belum punya malu berbuat suatu perbuatan yang memalukan.

Makassar, 04 April 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun