Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilih (Belanja) 1 atau (Dapat) 2

9 Juli 2014   03:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:56 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1404826972754660245


Pekan lalu ketika menemani keluarga berbelanja di salah satu mall di Makassar. Seperti biasanya, ramadhan dan menghadapi lebaran, banyak barang dagangan ditawarkan dengan harga miring melalui ragam variasi discount. Salah satu varian ditawarkan untuk memikat konsumen, yakni “belanja 1 dapat 2”. Menghadapi tawaran promosi macam itu, sedikitnya saya berbeda cara pandang dengan isteri saya untuk menyikapinya.

Bagi isteri saya, ini adalah kesempatan terbaik mendapatkan barang dengan harga murah, sebaiknya dimanfaatkan. Berbeda bagi saya, bukan soal menerima atau menolak keinginan isteri untuk memenuhi keinginannya, tapi bagi saya yang teguh pada prinsip, “hidup bukan untuk memenuhi keinginan, tapi memenuhi kebutuhan”, maka cara pandang saya adalah apakah barang yang ditawarkan memang sesuai kebutuhan mendesak, ataukah sekadar hanya untuk memenuhi keinginan dan hasrat saja, mumpung lagi promosi.

Bagi saya, jika sekadar hanya untuk memenuhi keinginan, buat apa. Keinginan tak akan ada ujungnya. Kebutuhan lain yang tak kalah mendesaknya, juga masih banyak. Ada baiknya kebutuhan mendesak itulah harusnya dipenuhi lebih dahulu. Itu sebabnya, berkehidupan memang memerlukan manajemen. Menyusun perencanaan serta berikhtiar penuh untuk menggapainya. Makanya kebutuhan harus disusun terencana dengan baik berdasar skala prioritas. Dahulukan kebutuhan, bukan ikuti keinginan.

Perbedaan paham antara saya dan isteri dalam menyikapi tawaran promosi barang dengan harga miring seperti itu, saya menilainya bukan suatu yang sederhana, bahkan sepele, tetapi saya tetap menilainya sebagai suatu hal prinsip. Menjadi kerangka acuan dan perspektif kita dalam menyikapi suatu hal terhadap satu soal. Dengan demikian kita tidak ikut latah dan terjebak dalam ketidakpastian subjektif untuk meladeni hasrat, selain tujuannya tidak jelas, hasil diharapkan juga selalu sumir dan semu.

***

Cara pandang seperti itu, selalu saya rindukan hadir dalam ruang publik dalam menghadapi pemilihan pemimpin publik, terutama menghadapi Pilpres 2014. Lantaran yang ada hanya dua pasang calon, maka tawarannya bukan lagi “beli 1 dapat 2”, tapi sudah berwujud “pilih 1 atau 2”. Saya merindukan hadirnya ragam cara pandang yang menghabiskan waktu dan energi memperdebatkan kualitas dan nilai barang semata, tetapi juga ikut memperdebatkan tentang apakah barang yang ditawarkan sesuai kebutuhan kita sebagai warga bangsa saat ini dan ke depan, ataukah sekadar mengikuti hasrat dan selera subjektif kita masing-masing.

Setelah menyimak perdebatan di warung kopi. Mengintip berita media on-line dan media jejaring sosial. Membaca pemberitaan media cetak. Menonton tayangan televisi, hingga puncaknya dengan penyegelan kantor perwakilan TV One di Jogyakarta. Maka ijinkan saya untuk tampil mengatakan bahwa penyebab kesemua itu, tak lain karena cara pandang kita secara komunal, sebenarnya sedang terjebak pada cara pandang yang nyaris sama seperti isteri saya. Menyikapi sesuatu karena terjebak pada cara promosi dan pada harga barang, bukan memperdebatkan pada apa yang menjadi kebutuhan mendesak.

Itu sebabnya, sepanjang waktu sejak awal mula dihadirkan kedua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, fakta terjadi adalah para pendukung dan tim pemenangan lebih banyak menghabiskan waktu dan menguras energi sekadar untuk menjual dan mempromosikan figur masing-masing yang sering-sering berlebihan melampui dari sebenarnya. Ataukah melakukan serangan balik, negatif campaign dan bahkan black campaign pada pasangan lain, yang juga berlebihan bahkan menjurus fitnah.

Tapi tragisnya lagi, karena para kaum cendekia dan kaum intelektual yang menjadi guru bagi bangsa, yang sejatinya diharapkan menjadi penerang dalam gulita, pun terjebak dan ikut terseret menawarkan analisis serta perdebatan subjektif sesuai keberpihakannya. Langsung atau tidak, sadar atau tidak, telah ikut memberi andil dan warna perdebatan subjektif di tengah kegalauan warga bangsa menentukan sikap pilihannya diantara harapan untuk dapat berkehidupan yang lebih baik. Dan sejatinya sumber penerang itu, dari para kaum akademis.

***

Resiko besar terjadi --- seperti sama kita saksikan --- publik larut pada perdebatan yang tidak produktif. Satu sisi secara fanatik mengunggulkan figur didukungnya , sementara sisi lain mencaci maki pasangan yang tak didukung. Terjadi tidak hanya di kalangan masyarakat bawah, tapi juga berkutat di lingkungan elit. Perang telah berlangsung, tak lagi mungkin bisa dielakkan, karena seluruhnya terlanjur terjebak masuk kedalam mainstream kalah-menang. Bukan lagi sama-sama menang untuk kepentingan negara-bangsa.

Menghadapi pertarungan politik praktis dengan melibatkan langsung partisipasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sejatinya diharapkan adalah perdebatan pada bagaimana idealnya pakaian yang dibutuhkan, selanjutnya memperdebatkan siapa figur paling pas untuk memakaianya. Bukan sebaliknya, memperdebatkan figurnya lalu mencarikan pakaian untuk mencocok-cocokkannya, sekalipun pakaian itu terlalu sempit dan dipaksakan. Pada titik inilah arti penting kehadiran para akademisi, cerdik cendekia dan kaum intelektual.

Para guru bangsa, diharapkan tampil untuk membentangkan peta dan kondisi bangsa dan negara kita saat ini, sehingga rakyat sebagai pemegang kedaulatan memiliki arah dan acuan untuk menentukan sikap pada figur mana yang tepat sesuai kebutuhan mendesak, bukan bersikap berdasar pada keinginan dan selera subjektif semata yang belum tentu mampu menghadirkan perubahan yang didambakan. Itu juga sebabnya saya tidak pernah sepakat dengan “memilih sesuai hati nurani”, tapi sejatinya “memilih sesuai akal sehat”.

Memilih sesuai akal sehat, bersikap karena ada tolok ukurnya dan ada kerangka fikirnya. Lebih intelek, bernas dan membuka ruang dialogis untuk bersikap logis. Tidak terjebak untuk bersikap menentukan pilihan semata karena alasan-alasan subjektif yang dasarnya hanya karena terjebak pada bangunan citra dan egosentris. Muaranya adalah emosinal, saling caci dan permusuhan yang justru membawa dampak buruk yang justru bersimpang arah dari substansi dan nilai-nilai dari demokrasi itu sendiri.

***

Memilih pemimpin karena kita paham pada apa kebutuhan mendesak bagi negara dan orang-orang yang akan dipimpin. Orang-orang yang akan dimpin adalah pemegang kedaulatan, maka sebagai warga bangsa sejatinya harus tahu apa kebutuhan mendesak --- bukan keinginan --- negara saat ini, sehingga kita tahu pada sosok figur mana yang tepat untuk memenuhi kebutuhan mendesak itu. Sendirinya pilihan tidak lagi hanya karena dorongan hasrat dan keinginan. Tawarannya “Pilih 1 atau 2”. Bukan seperti tawaran di pusat perbelanjaan “Pilih 1 dapat 2”.

Makassar, 7 Juli 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun