Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mudik dan Logika-Logika Terbalik

4 Agustus 2014   11:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:29 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_317687" align="aligncenter" width="480" caption="Photo: sekedar-tahu.blogspot.com"][/caption]

Malam kemarin saya menempuh perjalanan mudik dari kampung halaman. Jarak ditempuh untuk kembali berada di Makassar, sejauh 350 km atau dalam hitungan waktu sekitar tujuh atau delapan jam. Sebuah perjalanan panjang yang tentu saja sangat melelahkan. Bagi yang kurang terbiasa mungkin terasa sangat membosankan. Tapi saya yang memiliki “kewajiban” untuk setiap kali lebaran harus pulang-pergi kampung halaman dimana saya dilahirkan dan mumpung orangtua masih ada, merasakannya masih sebagai perjalanan yang enteng.

Seenteng apapun itu, tapi duduk di atas kendaraan selama tujuh atau delapan jam, tetap saja merupakan perjalanan yang membosankan. Terlebih lagi karena saya tidak memiliki kebiasaan seperti orang kebanyakan, menutup mata dan terlelap untuk beristirahat di atas mobil selama perjalanan. Padahal setiap kali perjalanan pulang kampung saya lebih senang memilih perjalanan malam, karena jalanan lebih lengang. Kantuk selalu datang, tapi mata tak mau berkompromi. Sebabnya, pantat saya kepansan serasa duduk di atas bara.

Lantaran selalu perjalanan malam, indahnya pemandangan alam yang sedianya bisa menjadi alat penghibur, tentu tak lagi bisa dinikmati. Satu-satunya aktifitas dijadikan alat penghibur, adalah ketika beriringan sejumlah mobil truk yang tak pernah ada habis-habisnya sepanjang perjalanan. Sekian mobil-mobil truk itu, sekalipun ikut menghambat laju perjalanan untuk bisa secepatnya sampai ke Makassar sebagai kota tujuan, tapi sisi lain seolah berkah untuk menjadi alat penghibur dari rasa bosan dan penat.

***

Berkah penghibur apa gerangan saya maksud itu, tak lain adalah tulisan-tulisan graffiti yang tertulis pada bagian belakang bak atau alat penahan lumpur sekian truk pengangkut barang. Mungkin saja diantara kita juga sering atau kadang melihatnya, tapi tidak mencermatinya, apalagi mau menjadikannya sebagai berkah penghibur untuk menghilangkan penat selama perjalanan, tapi bagi saya adalah sebuah aktifitas yang memelukan penghikmatan tersendiri. Setidaknya membuat saya senyum sendiri, sebab tulisan-tulisan graffiti itu serba lucu-lucu.

Perjalanan malam kemarin, saya sempat mengingat-ingat tulisan graffiti diantara sekian truk yang kebetulan beriringan dengan kendaraan saya. Tertulis di bagian belakang truk, seperti; “Kutunggu Jandamu”, “Cewek Rental”, “Gadis Pulsa”, “Cintamu Tak Lagi Semurni Solarku”, “Putus Cinta itu Biasa, Putus Rem Mati Kita”, serta lainnya. Jika tulisan-tulisan itu dicermati, sebenarnya tidak juga lucu-lucu sangat. Tetapi jika serasa bosan dalam perjalanan, tulisan-tulisan itu benar-benar berwujud menjadi sebuah berkah penghibur.

Jika benar-benar dicermati, sungguh sebuah berkah bagi mereka yang tengah menempuh perjalanan. Bukankah tulisan-tulisan graffiti itu tidak diletakkan pada bagian depan mobil truk itu, tapi sengaja diletakkan pada bagian belakang dengan maksud agar pengendara yang menguntit di belakang dapat membacanya. Maksud pemilik truk tentu saja sekadar iseng, tetapi silahkan saja dijadikan penghibur bagi yang mau. Satu diantara pengendara yang memiliki kemauan itu adalah saya, maka tak salah jika saya merasa terhibur.

***

Tulisan-tulisan graffiti itu benar-benar menjadi alat penghibur sepanjang perjalanan pulang mudik dari kampung, tapi saat memasuki wilayah Kota Makassar, perasaan dan logika tiba-tiba justru terusik dengan salah satu tulisan yang terpampang dalam bentuk spanduk tepat di depan masuk pintu tol. “Jangan Buang Sampah Sembarangan, Siapkan Tempat Sampah dalam Mobil Anda Masing-masing”. Demikian kalimat itu tertulis, sangat mecolok di depan mata, sehingga siapapun tak bisa mengelak untuk tidak membacanya.

Sebenarnya saya tak perlu terusik dengan kalimat itu, apalagi maksudnya baik. Tapi dasar saya yang terbiasa dengan logika-logika terbalik, sehingga menangkap maknanya pun juga dengan logika terbalik. Saya menangkapnya bahwa sekian pengendara yang melintas di ruas jalan tol satu-satunya di Kota Makassar ini, sekian diantaranya membuang sampah. Akibat perbuatan tidak semestinya itulah sehingga tulisan berisi larangan itu dihadirkan. Artinya, tulisan itu hadir karena ada sebab akibat. Di bangku kuliah disebut rumus kausaliteit.

Rumus dengan logika terbalik seperti itu, sesungguhnya bertebaran di sekeliling kita. Paling sering, “Dilarang Duduk di atas Meja” misalnya, sudah bisa diduga dengan logika terbalik bahwa sebelumnya ada sejumlah orang duduk di atas meja itu. Ataukah “No Smoking Area”, sudah sangat bisa dimengeri jika di area dimaksud di larang merokok, tetapi juga sudah bisa disimpulkan bahwa di area itu ada atau sejumlah orang pernah merokok. Tetapi tertulis kata “area”, maka mestinya juga harus ada (disiapkan) area lain untuk bisa merokok.

***

Menangkap pesan dengan logika terbalik, sebenarnya hal sepele, tapi saya kurang sepakat untuk menjadikannya hal sederhana. Sangat terkait mainset. Cara pandang kita kebanyakan, mampu melarang tapi tidak mampu menawarkan solusi, akibatnya sering berujung konflik. Masyarakat kita belum terbiasa berlogika terbalik untuk mengajukan tawaran alternative. Jika tak senang anak-anak di rumah mengotori lantai, yang dikedepankan jangan pada sisi pelarangan mengotori lantai, tapi kedepankanlah pikiran untuk menyiapkan tong sampah.

Asal kejadiannya tidak seperti kisah Naim di negeri Arab. Tak ada larangan Bapaknya selain ia lawan dan bantah. Suatu hari Naim berjalan ke tengah padang pasir. Bapaknya tahu, jika Naim terus berjalan ke depan, pasir bergelombang bakal menelan naim masuk ke dasar bumi. Tapi berdasar pengalaman, Naim selalu melawan apa kata Bapaknya, sebab itu Bapaknya berteriak “Naiiim, teruuus!, jalan teruuuus!”, berharap Naim membantahnya untuk berbalik pulang. Tapi hari itu Naim berpikir ingin sesekali mendengar apa kata Bapaknya, maka Naim pun meneruskan perjalanan. Bisa diduga apa dialami si Naim.

Makassar, 03 Agustus 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun