Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Ini Budi dan Tanya Budi

5 Agustus 2014   11:33 Diperbarui: 4 April 2017   18:04 1870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14071877531737381389

[caption id="attachment_317874" align="aligncenter" width="591" caption="illustrasi: posrondadotnet.files.wordpress.com"][/caption]

“Ini Budi, ini ibu Budi, dan ini bapak Budi”, kata-kata dimaksud sangat akrab, melekat dalam benak, mungkin bekasnya tak akan pernah terhapus sepanjang hayat. Bagaimana tidak, kata itu adalah awal mula dari kisah ketika kita mulai mencoba mengeja penyatuan huruf demi huruf untuk menemukan kata, yakni ketika kita duduk di bangku sekolah Taman Kanak-Kanak. Muasal dari kata "Budi" itulah yang kemudian banyak orang di negeri ini mulai mengenal susunan kata lalu berubah bentuk menjadi kalimat demi kalimat, untuk selanjutnya kita memiliki kepandaian membaca teks tentang apa saja.

Saya tiba-tiba kembali teringat dengan kata-kata itu ketika siang tadi putri semata wayang saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar menelepon Budi untuk menyuruh membelikan mie goreng kegemarannya di sebuah kedai di sudut Kota Makassar. Sebagai orangtua yang memiliki pengawasan pada anak, mulanya saya berfikir keras, entah siapakah gerangan si Budi dimaksud yang ditelepon putri saya untuk disuruh membeli makanan, lalu disuruh mengantar ke rumah. Rasa penasaran saya makin memuncak ketika yang datang mengantar makanan adalah seorang lelaki dewasa berkendara motor. Setelah menyerahkan makanan belanjaan ia langsung pergi.

Tak perlu butuh waktu lama, tanpa perlu lagi menunggu putri saya menghabiskan makanan mie goreng kegemarannya, saat menyorongkan sendok ke mulutnya, saya menghampiri putri saya, dengan nada sedikit kesal, segera saya melampiaskan rasa penasaran untuk menanyakan siapa dia si Budi yang tadi disuruh belanja dan mengantar mie goreng ke rumah. Sambil mengunyah makanan, putri saya menjelaskan secara baik dengan nada sedikit tertawa, seolah menangkap jika pada diri saya ada rasa penasaran, juga sedikit dongkol. Mendengar penjelasan putri saya, tak kuasa saya menutupi kekaguman pada si Budi, lelaki dewasa yang punya jasa baik itu.

Budi yang dulu saya kenal waktu duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, adalah kata dari nama orang, tapi Budi yang disuruh belanja dan mengantar belanjaan ke rumah, ternyata bukan lagi nama orang, tapi nama sebuah perusahaan biro jasa. Perusahaan kecil-kecilan yang hanya ada di Kota Makassar. Meskipun hanya berangkat dengan modal kecil, manajemen tradisional serta modal sumber daya manusia yang sangat terbatas, tapi telah memiliki setidaknya enam anak cabang yang sengaja ditempatkan di sejumlah sudut Kota Makassar, tak lain maksudnya agar jangkauan rentang kendali pelayanan dapat dipenuhi secepatnya dan memuaskan pelanggan.

Sejujur-jujurnya, saya memberikan apresiasi dan penghormatan tinggi pada sang penginisiatif atas ide dan gagasan yang ditemukan perusahaan ini. Bagi saya, ini adalah ide dan gagasan yang cemerlang. Saya terkagum-kagum dibuatnya. Terlebih lagi karena mereka miliki keberanian dan kemauan untuk menggerakkan ide-idenya menjadi sebuah bidang usaha yang nyata. Bukankah di negeri ini tidak sedikit orang memiliki ide dan gagasan besar, tapi tidaklah banyak orang yang memiliki keberanian dan kemampuan untuk merealisasikannya dalam bentuk nyata. Tapi bagi perusahaan “Tanya Budi”, berbukti dan membuahkan keuntungan berlipat-lipat.

Memanfaatkan jasa perusahaan “Tanya Budi”, cukup menelepon cabang terdekat, pada saatnya seorang kurir akan datang ke rumah melakukan survei. Tanpa perlu administrasi yang berbelit, cukup memberikan nomor telepon pribadi atau telpon rumah, maka selesai hanya sampai di situ, kita akan segera masuk dalam daftar pelanggan mereka. Tidak ada iuran awal, lebih-lebih iuran bulanan. Pokoknya gratis. Jika suatu kali kita memerlukan urusan di luar rumah, sementara kita tak cukup waktu untuk pergi, cukup menelepon kantor mereka dan sampaikan pesanan secara detail. Saatnya ia datang mengantar pesanan, biaya jasa hanya 25 ribu rupiah per sekali antar.

Seperti kisah putri saya yang telah saya kisahkan sebelumnya, lantaran tak ada orang di rumah yang bisa disuruh belanja di luar, maka putri saya cukup menelepon cabang perusahaan “Tanya Budi” yang terdekat, menyampaikan pesan agar dibelikan mie goreng di kedai tertentu. Saatnya seorang kurir datang membawa pesanan, sekaligus menyerahkan nota hasil belanjaan. Tugas mereka telah selesai, tugas pemesan atau pelanggan adalah mengganti sejumlah uang yang tertera dalam nota, sekaligus menambahkan uang 25 ribu rupiah sebagai pembayaran jasa kepada perusahaan. Setelah uang diserahkan mereka pun segera pamit.

Masih duduk termangu membayangkan cerdasnya pengide dan penggagas yang menemukan satu bidang usaha yang mendukung pesatnya kebutuhan masyarakat perkotaan saat ini, yang menyebabkan saya berkeyakinan jika perusahaan ini akan memiliki prospek cerah ke depan, namun tiba-tiba saya disentakkan satu judul berita yang termuat di halaman salah satu koran depan saya. “Budi dan ibunya gugat kemendikbud”. Media cetak terbitan 2 Mei 2014 itu, juga menampilkan foto Budi dan ibunya yang datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengajukan gugatan perdata kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Saya tersentak membaca berita dan melihat tampilan foto itu karena, pertama, sejak awal mula mengeja kata “Ini Budi, ini ibu Budi, serta ini bapak Budi”, saya menduga hanyalah nama rekaan semata. Nama Budi yang hingga saat ini juga banyak dijadikan nama sejumlah orang, ternyata diambil dari nama seseorang yang memiliki hak royalti, seperti tertera dalam gambar koran depan saya. Rasa sentak kedua, saya membayangkan jika Kemendikbud digugat karena dianggap lalai membayar royalti atas penggunaan nama mereka pada kurikulum serta buku-buku pelajaran sekolah, haruskah perusahaan “Tanya Budi” juga akan mendapat gugatan?

Makassar, 04 Agustus 2014

Reference:

http://posronda.net/2014/05/02/menolak-lupa-persoalan-royalti-budi-dan-ibunya-gugat-kemendikbud/

http://idegue--news.blogspot.com/2014/05/budi-dan-ibu-budi.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun