Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membela (Perasaan) Prabowo

10 Agustus 2014   12:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:55 2597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_318567" align="aligncenter" width="560" caption="Photo; Tribunnews.com"][/caption]

Berdasar hasil quick count sejumlah lembaga survey terkemuka, maupun berdasar hasil real count sebagaimana ditetapkan KPU, head to head Pilpres 2014, antara pasangan nomor urut 1 (Prabowo-Hatta) versus pasangan nomor urut 2 (Jokowi-JK), dimenangkan pasangan Jokowi-JK. Kalau demikian kenyataan sudah terjadi, maka pertanyannya adalah, buat apa lagikah Prabowo (tanpa Hatta) mesti dibela. Saya --- lebih duluan --- menduga, kira-kira sedemikianlah tanggapan terbersit di benak sejumlah orang, bahkan mungkin berupa cibiran negatif, ketika hanya sekilas saja menyimak judul tulisan ini. Tapi tak soal, silakan saja. Sangat bisa dimengerti.

Saya lebih duluan menduga seperti itu, tak lain karena saya mendengar banyak orang, terlebih lagi banyak media on-line, serta sangat banyak pengguna media jejaring sosial yang memberi penilaian negatif kepada Prabowo (sekali lagi tanpa Hatta) kaitan keikutsertannya dalam Pilpres 2014, bahkan wujud caci dan makian yang ada --- menurut takaran saya --- sudah cukup banyak yang telah melampaui batas etika, norma dan susila yang sudah menyangkut dengan harkat dan martabat pribadi Prabowo. Terlebih pasca quick count dan putusan KPU, terlebih lagi saat ia memilih untuk menempuh gugatan ke Mahkamah Konstutusi.

Membaca pandangan-pandangan negatif, berupa makian demi cacian seperti itu, baik tersirat maupun tersurat, jujur saja di diri saya muncul perasaan pilu dan miris. Bukan saja pada pihak Prabowo sebagai pihak tercaci, tapi juga pada mereka pihak pencaci. Pihak tercaci --- tanpa ada maksud mau membela “pribadi” Prabowo --- siapa dan bagaimanapun “dia tetap saja putra terbaik dimiliki bangsa ini”, sementara bagi pihak pencaci, apa dan siapapun dia, juga tetaplah warga bangsa yang telah memberikan hak konstitusionalnya pada hari pencoblosan Pilpres, 9 Juli 2014, yang lalu. Sehingga kedua pihak, sama-sama memiliki tanggung jawab pada negerinya.

Saya sadar dan dengan sengaja memberi tanda petik pada kalimat “dia tetap saja putra terbaik dimiliki bangsa ini”, karena saya juga lebih duluan menduga bahwa kalimat itu tidak disenangi sejumlah orang. Agar tak melahirkan banyak tafsir lain, mohon disederhanakan saja maknanya bahwa Jokowi-JK (berdasar putusan KPU) memenangi pertarungan Pilpres 2014, tak lain karena ada Prabowo-Hatta yang terkalahkan. Tentu tak ada pemenang, jika tidak ada yang terkalahkan. Kalimat tepatnya lihat victory speech disampaikan Jokowi di atas kapal phinisi di Sundakelapa, “…. Pak Prabowo dan Pak Hatta adalah negarawan yang telah memberi andil berdemokrasi ….”

Ajaran demokrasi tidak sebatas hitungan angka-angka untuk menentukan siapa pemenang dan siapa terkalahkan, tapi ajaran demokrasi pada hakikatnya adalah penuntun jalan untuk menuju ke syurga ataupun ke neraka. Pembeda dari ajaran agama-agama manapun yang menuntun ummatnya untuk membedakan mana jalan ke syurga dan mana jalan ke neraka dengan segala konsekuensinya. Sebab itu Pilpres 2014, adalah proses demokrasi untuk memilih sosok yang akan memimpin negeri ini lima tahun ke depan, dan Pilpres sama sekali bukanlah proses untuk menentukan siapa sosok terbaik dan siapa sosok terburuk dengan segala konsekuensinya.

Salah satu substansi demokrasi adalah mau mengerti dan mau dimengerti, serta menghormati segala proses yang telah disepakati. Kalaupun sebelumnya Prabowo-Hatta tak mengakui hasil quick count sejumlah lembaga survey terkemuka, atau malah justru menghadirkan quic count tandingan, juga adalah bagian yang tak lepas dari mau mengerti dan mau dimengerti itu sendiri. Termasuk penolakannya terhadap putusan KPU, lalu memilih jalan lain menuju ke Mahkamah Konstutusi, juga adalah bagian yang mau mengerti untuk dimengerti. Sepanjang jalur dilalui tak menyimpang dari proses disepakati, tetaplah konstitusionil.

Pada tataran demokrasi, substansi untuk mau mengerti dan mau dimengerti itulah sehingga judul tulisan ini memilih kata “membela” Prabowo (tanpa Hatta). Membela mau mengerti dan mau dimengerti, sejatinya tentu lebih dominan bersentuhan pada tataran rasa dan bukan rasio. Itulah sebabnya kata (perasaan) diletakkan dalam kurung, sebagai pembeda dalam meletakkan sisi pandangan bahwa duduk soal dihadapi Prabowo (pribadi) saat ini, tidak lagi semata pada soal rivalitas jumlah angka-angka suara rakyat yang berujung pada penentuan siapa kalah dan siapa menang, tetapi lebih pada sisi rasa yang mau dimengerti akan “kegalauan” dihadapi.

Meletakkan sisi pandangan untuk mau mengerti dan mau dimengerti --- sekali lagi sejatinya adalah lebih dominan pada tataran rasa dan bukan rasio --- sehingga memerlukan kearifan dan kebajikan tinggi, sebab hanya orang-orang arif dan bijak sajalah yang mau mengerti dan mau dimengerti. Maka membela “perasaan” Prabowo, adalah sama saja sedang membela perasaan diri kita masing-masing, ketika pedih menghadapi kekalahan apa saja. Sekian ratus kali pilkada telah berlangsung di negeri ini, sekian ratus pula pasangan menghadapi kekecewaan. Kesemua mereka itu memerlukan untuk mau dimengerti tentang betapa pedih menghadapi kekalahan.

Tak kurang dari dua pekan lagi Mahkamah Konstitusi akan menutup seluruh rangkaian Pilpres 2014, sekaligus mengakhiri pandangan pada rivalitas dua pasangan kandidat. Berdasarkan teori rivalitas, jika pesaing satu telah gugur maka sendirinya pesaing baru akan lahir. Jika Jokowi- JK memenangi putusan Mahkamah Konstitusi, maka Prabowo-Hatta akan gugur, maka serta merta lahir pesaing baru yang kelak bakal dihadapi Jokowi-JK. Pesaing yang baru lahir, bukan mustahil justru lahir dari rahim Jokowi-JK sendiri. Tak jelas darimana datangnya, entah dari pengusung, pendukung atau pemilihnya sendiri yang bakal berbalik menghina dan mencacinya kembali.

Bibit lahirnya pesaing baru, telah terbentang depan mata Jokowi maupun JK. Tak soal, itulah konsekuensi demokrasi untuk mau mengerti dan mau dimengerti, “tak ada kawan abadi, yang abadi adalah kepentingan”. Banyak fakta peristiwa politik terjadi menjadikan pameo ini benar-benar klasik. Tapi fakta-fakta kasik itu sekaligus menjaminkan bahwa itulah demokrasi, sangat memerlukan dialektika check and balances. Ada pemenang yang berkuasa memerlukan kontrol, dan yang terkalahkan diperlukan sikap kritisnya. Pemberlakuan sistem Presidensil, memerlukan kontrol yang kuat, agar tak berbalik seperti kuatnya Orde Baru karena kontrol kuat tak ada.

Makassar, 08 Agustus 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun