[caption id="attachment_318963" align="aligncenter" width="558" caption="Photo: Facebook/Novela Nawipa"][/caption]
Sesaat yang tak terlupakan....
Di kala malam menyiratkan rasa yang mendalam..
Menguntai bait manis ditangkai sebuah senyuman..
Kesepian membungkusku dalam aroma rindu diruang hati..
Meraih sejuta bunga kedalam pelukan mimpi..
Asa cinta diujung langkah yang sedang kucari..
Aku menemukan bias cintamu..
Dalam titik kabut yang menyelimutiku..
Dalam kesunyian kuterdiam seribu kata..
Menorehkan dalam syair yang tak bermakna..
Di sini...
Rasa itu semakin lirih...
Kian menghentakkan hasrat ini...
Dlm merdunya suara hati...
Aku mendengar lirik cinta...
Di sebuah ketukan indah dijantung hatiku..
Terukir indah Namamu di dlm kalbuku.
(Novela Nawipa, Jakarta, 9 Agustus 2014)
Bait-bait puisi “kasmaran” itu, saya temukan di halaman Facebook milik seorang perempuan Papua. Perempuan dimaksud tak lain adalah Novela Nawipa, yang siang kemarin membuat ruang sidang Mahkamah Konstitusi yang sekian lama dianggap serius, tegang dan “angker” itu, tiba-tiba berubah gaduh dan penuh gelak tawa. Perempuan itu membuat pengunjung sidang tertawa, para kuasa hukum dan sejumlah hakim pun ikut pula tertawa. Bahkan siapa saja di negeri ini yang sempat menyaksikan siaran televisi “live” dari Mahkamah Konstutusi siang kemarin, pasti tak akan mampu menahan diri untuk tak ikut tertawa.
Ia ada di Mahkamah Konstitusi karena dihadirkan kuasa hukum Prabowo-Hatta sebagai saksi sidang sengketa Pilpres 2014. Membuat lucu karena Novela menyampaikankesaksiannya, selalu dengan nada meledak-ledak laiknya aksen orang Papua saat berbicara. Novela tampil percaya diri untuk mengemban misi yang dititipkan padanya, menyampaikan kesaksian jika di kampungnya tidak ada gelaran Pilpres. Dijegat kuasa Jokowi-JK bahwa pemungutan suara tidak ada karena digunakan sistem noken. Novela menepisnya, bahwa"Apapun sistemnya, noken atau lainnya yang penting Pemilu harus ada di kampung saya",tuturnya.
Hakim Mahkamah Konstitusi yang selama ini dikenal garang mencerca pertanyaan kepada sejumlah saksi, tapi ini kali serasa kewalahan menghadapi Novela. Ia menceritakan jika di kampungnya Awabatu, Papua, tidak terjadi pemungutan suara. "Tak ada pemilu, tak ada bilik suara, tak ada petugas KPPS, tak ada tanda tangan formulir," ujarnya. Ketua Majelis Hakim menanyai, "Bagaimana keadaan kampung lainnya?" dengan nada tinggi ia menjawab, "Saya tak mau bicara kampung lain, saya mau bicara kampung saya saja." Anggota Majelis Hakim lain ikut bertanya, apakah ada aktivitas lain dilihat sekitar kampungnya. Novela tak mau menjawab, hakim pun nyelutuk, "Saya bisa kacau kalau dilanjutkan," sontak Novela menyela, "Bapak kacau, saya lebih kacau pak", ujarnya yang membuat seisi ruang sidang kembali tertawa.
Tentu saja ini adalah kisah nyata dan sangat langka terjadi dalam ruang sidang Mahkamah Konstitusi yang sangat mulia itu. Novela Nawipa, si penulis bait-bait puisi “kasmaran” di atas, memecahkan rekor langka itu. Perempuan Indonesia asal Papua itu membuat penasaran, siapa gerangan dirinya yang ini kali berhasil membuat sejumlah hakim Mahkamah Konstitusi itu senyum, tertawa dan geleng-geleng kepala, bahkan sesekali ikut mendebatnya. "Apa yang memberikan kita kepastian dalam hidup ini adalahkeberanian," lagi-lagi tulisnya di halaman Facebook miliknya, 25 Juli 2014.
Jika halaman Facebook-nya dicermati, ia aktif menggunakan media jejaring sosial itu. Bisa diduga jika ia bukanlah perempuan biasa. Ia berada di kampung terpencil di lereng Puncak Jaya, tetapi aktif berkomunikasi melalui Facebook. Berkat penelusuran saya selanjutnya di halaman Facebook miliknya, saya mengetahui jika bait-bait puisi di atas ia tulis ketika ia berada di Jakarta di kawasan Mangga Raya Besar, karena di halaman Facebook-nya, 07 Agustus 2014, ia menulis “Jakarta I’am coming”. Berbahasa Inggris pula. Semakin membuat penasaran. Ia tentu memiliki akses luas untuk belajar bahasa Inggris.
Kalau demikian keadaannya, tentu dia tidaklah selugu-lugu amat seperti diduga ketika ia membuat ruang sidang Mahkamah Konstitusi menjadi riuh gaduh gelak tawa. Dan ternyata benar, “National Geographic Indonesia” (14 Juni 2014), menguraikan bahwa Novela Nawipa, adalah sesosok perempuan yang belakangan ini getol memperjuangkan kemajuan pendidikan masyarakat Papua. Janda kelahiran 14 September 1984 dengan seorang anak tunggal ini, juga adalah seorang pengusaha muda asal Wamena-Papua yang bergerak dalam bidang usaha perdagangan emas di bawah payung usaha CV. Iyobai.
Ia meniti jalur hidupnya mulai dari bawah. Berasal dari keluarga tak mampu, masih duduk di bangku Sekolah Dasar ia harus berjualan sayur dan hasil kebun lainnya di pasar. Hasil jualan sayur dan menjadi tukang cuci pakaian itulah yang digunakan membiayai hidup adik-adiknya dan juga menamatkan sekolah tingkat SMP. Ketika melanjutkan ke tingkat SMA, ia bekerja sebagai tukang ojek khusus perempuan. Setelahnya bertekad memasuki perguruan tinggi, memilih Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ). Biaya kuliah didapatkan dari keringat membantu temannya menulis laporan dan skripsi.
Setelah menyelesaikan kuliah, terhitung sejak 2009 ia merintis usahanya dengan bermodal dari hasil “berkebun emas”. Kegiatannya adalah berjual-beli dan menggadaikan logam mulia bersertifikat produk Antam. Hasil gadai itulah yang diputar terus menerus hinggamemiliki lebih banyak emas lagi. Kegiatan bisnis rumahan Novela ini, sekalipun dia penganut agama Kristen, tapi memilih Bank Muamalat sebagai mitra keuangan usahanya, karena menurutnya sistem Syariah dan bagi hasil yang diterapkan, dirasakan memberi keuntungan. “Bagaimana bisa saling menguntungkan, itu yang penting buat saya”, jelasnya.
Apapun keberhasilan dicapainya --- yang katanya miliknya sementara waktu saja --- dicapai dari hasil sebuah perjuangan panjang lelehan keringat dan tetesan air mata. "Saya jatuh bangun dalam menapak hidup, tapi saya terus melangkah karena saya melihat ada cahaya di ujung lorong", ujarnya. Menurutnya, kegetiran dan kerasnya hidup yang ia lalui, cukuphanya ia yang merasakan. “Jangan sampai generasi muda Papua lainnya juga merasakan nasib yang sama”. Itu sebabnya, sebagian keuntungan usahanya digunakan membiayai sekian anak-anak Papua melanjutkan kuliah. Sekian diantaranya telah sarjana dan mengajar di pelosok.
Selain aktif mengembangkan usahanya, ia juga bergerak dibidang sosial, kegiatan gereja dan gerakan perempuan, karena ia mendambakan Papua yang maju dan sejahtera. Selain itu ia aktif pula di dunia politik sebagai Ketua DPC Partai Gerindra Kabupaten Piniai, Papua. Atas konsekuensi jabatan politiknya itulah sehingga pada Pilpres 2014, ia ditunjuk menjadi Tim Pemenangan Prabowo-Hatta di Papua. Konsekuensi itu jugalah yang menghantarnya untuk hadir dengan lagak kelugu-luguan di ruang sidang sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi yang kemarin membuat seisi ruang sidang tertawa, tanpa siapapun menduga jika dia adalah seorang perempuan pebisnis emas yang menjalani hidupnya bagai cerita telenovela.
Makassar, 13 Agustus 2014
Reference sidang MK yang menghadirkaan Novela Nawipa yang seru itu;
http://www.youtube.com/watch?v=qcrgWaZMeMM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H