JIKA kita mengerti hakikat dari makna Somasi (yang hanya bisa timbul karena adanya sebuah “kelalaian”— lihat pasal 1238 KUHPerdata), maka orang-orang yang telah disomasi oleh SBY sesungguhnya tak patut diperlakukan layaknya sebagai pihak yang telah melakukan kelalaian.
Meski somasi saat ini diistilahkan sebagai sebuah teguran untuk mendapatkan klarifikasi, namun somasi pada dasarnya merupakan sebuah “ancaman”. Sebab Somasi saat ini lebih didefinisikan sebagai teguran kepada pihak calon tergugat. Padahal pada dasarnya, somasi hanya lebih ditujukan untuk melakukan teguran bagi pihak yang dinilai telah melakukan kelalaian.
Jika DR. Rizal Ramli (RR1) pernah berpendapat, bahwa ada gratifikasi yang diberikan kepada Boediono atas dicairkannya dana bail-out Bank Century. Maka apakah itu bisa disebut sebuah kelalaian??
RR1 mengeluarkan pendapat seperti itu karena memang kasus Bank Century saat itu (hingga kini pun) sedang sangat ramai diperbincangkan oleh publik, dan publik sangat menghendaki titik terang dari kasus tersebut.
Seharusnya SBY tidak melakukan somasi atas pendapat RR1 tersebut. SBY harusnya segera mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar bekerja maksimal untuk membuktikan pendapat yang dikemukakan oleh RR1. Bukan malah sebaliknya, yakni dengan menggelontorkan somasi, yang secara psikologis justru dapat dianggap sebagai salah satu upaya “menghambat” langkah KPK untuk dapat mengusut secara dalam kasus tersebut.
Artinya, dengan melakukan somasi kepada pihak-pihak yang telah mengeluarkan pendapat seputar kasus-kasus korupsi yang sedang menggelinding itu, seakan-akan SBY memunculkan sebuah “pesan” untuk semua pihak (termasuk mungkin kepada KPK) agar jangan lagi sekali-kali berani “menyentuh” kasus-kasus tersebut..!?!? Jika berani, maka akan berhadapan langsung dengan “saya”. Mungkin dan kira-kira begitulah pesan SBY…???
Kembali ke soal somasi. Mereka yang telah disomasi itu sekali lagi adalah lantaran telah mengeluarkan pendapat seputar korupsi. Mengapa mereka mengeluarkan pendapat seperti itu..? Tentulah salah satunya adalah sebagai upaya untuk dapat membantu KPK (memberi keterangan secara rasional) agar bisa bekerja maksimal dan tidak terjebak pada suasana yang diduga melibatkan unsur “kekuasaan” di dalamnya.
Tetapi sayangnya, upaya itulah yang sepertinya saat ini sedang dihambat oleh SBY dengan melakukan somasi. Bisa dibayangkan, sedangkan masih ada saja orang bersuara dan berpendapat seperti itu, KPK masih terkesan “mandul” terhadap dugaan kasus korupsi yang melibatkan penguasa, apalagi jika tidak ada lagi pendapat-pendapat yang disuarakan seputar kasus korupsi tersebut…???
Jika demikian, berarti kita (rakyat) mulai saat ini tak lagi bebas berpendapat terhadap persoalan apa saja, terutama masalah korupsi yang diduga di dalamnya terlibat para petinggi di negeri ini. Parah!!! Padahal kita (rakyat) diminta untuk berpartisipasi dalam membantu pemberantasan korupsi, tetapi kok orang belum beraksi (masih sebatas berpendapat) saja menurut analisa masing-masing seputar korupsi nyatanya disomasi…???
Padahal UUD 1945 pasal 28E ayat 3 menyebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dan nampaknya pasal ini sebaiknya dihapus saja karena sudah terbukti ada orang-orang yang mengeluarkan pendapat tentang masalah negara (korupsi) langsung disomasi, dan ini baru terjadi di Indonesia sebagai sejarah pertama warga negara (rakyat) disomasi karena mengeluarkan pendapat seputar masalah bangsa dan negara (korupsi).
Apa iya, SBY berupaya menghindari Pasal 7A UUD 1945 (di dalamnya ada disebutkan kata korupsi dan penyuapan)??? : “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”