[caption id="attachment_328781" align="alignnone" width="600" caption="Ilustrasi/Design-rpro: Abdul Muis Syam."][/caption]
MENTERI Koordinator (Menko) Ekonomi adalah merupakan salah satu “organ” yang sangat vital di dalam tubuh kabinet. Jika bisa saya analogikan, Menko Ekonomi itu adalah ibarat sebuah jantung.
Jantung bisa dinilai sehat apabila tekanan darah “normal” dengan memompa darah berisi oksigen yang “segar”. Jantung memiliki dua pompa yang harus bekerja secara “seimbang” dan berdenyut “berirama” teratur sehingga bisa mendistribusikan darah ke seluruh jaringan pembuluh darah secara “merata”. Jika tidak, bisa dipastikan fatal jadinya.
Begitu pun dengan seseorang yang akan diberi tugas sebagai Menko Ekonomi, ia harus “segar” (steril, tidak terkontaminasi) agar dipastikan bisa bekerja secara “normal” (tidak ada kelainan, menurut pola umum), “seimbang” (sama berat, netral, tidak berat sebelah), dan “berirama” (terukur, terarah) secara merata (menyeluruh).
Apabila kita sepakat dengan analogi dan pemahaman di atas, maka seorang Menko Ekonomi memang sebaiknya berasal dari profesional yang independen, bukan profesional yang berasal dari parpol.
Sebab jika Menko Ekonomi dipegang oleh kader parpol, maka sebagai jantung, ia boleh dipastikan tidak akan bisa menjalankan fungsinya dengan baik sebagai “jantung”. Artinya, ia sangat sulit dinilai, apakah ia benar-benar steril dari warna parpol yang menaunginya atau tidak?
Kemungkinannya juga sangat kecil jika dikatakan ia bisa bekerja normal secara seimbang. Bahkan sangat besar kemungkinnya ia akan lebih cenderung berdenyut mengikuti irama yang dimainkan oleh parpolnya. Tengok saja bagaimana denyutan dan irama yang sudah dihasilkan oleh Menko Ekonomi era Presiden SBY kemarin?!?
Sehingga jika memang benar-benar Jokowi-JK ingin mewujudkan “Indonesia Hebat”, maka salah satu syarat mutlak untuk dapat hebat berlari kencang dan mendaki naik, adalah diperlukan “jantung” bertekanan darah normal yang bisa bekerja secara seimbang, yakni seorang Menko Ekonomi yang berasal dari profesional independen.
Kalau cuma alasan agar bisa berintegrasi sebagai kekuatan penyeimbang di parlemen, yang membuat Jokowi-JK harus memilih Menko dari kalangan parpol, saya kira itu sangat keliru besar. Sebab, KMP (Koalisi Merah Putih) di parlemen seakan sudah sepakat untuk tidak membiarkan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) leluasa “berkreasi” dan “berelaborasi”. Buktinya, beberapa waktu lalu KMP berhasil mematahkan perjuangan KIH dalam sejumlah pembahasan penetapan RUU di parlemen.
Jokowi-JK secara bijak hendaknya juga memahami, bahwa segala urusan di lingkungan parlemen dalam “menghadapi” KMP cukup dihadapi oleh KIH yang ada di parlemen pula. Tak elok jika urusan parlemen juga harus dipercayakan kepada seorang menteri atau menko. Sebab mereka (menteri maupun menko) harus benar-benar diposisikan sebagai “jantung” yang mampu “memompa” (bekerja secara seimbang) dalam mengatasi persoalan di lapangan (rakyat), bukan di parlemen.
Jika urusan (lobi-lobi, dll) di parlemen dan di lapangan dipaksakan untuk sekaligus ikut menjadi urusan seorang menteri ataupun menko, maka pola seperti inilah yang justru memudahkan terjadinya penyimpangan (patgulipat, kongkalikong, dll).