SEBAGAI presiden, Jokowi tentu sangat menyadari bahwa tugas dan amanah yang diberikan oleh rakyat kepadanya sangatlah berat. Sehingga itu Presiden Jokowi menamai kabinetnya dengan nama “Kabinet Kerja”.
Dan untuk memahami makna Kabinet Kerja, tentu saja tak hanya dibayangkan secara sederhana sebagaimana definisi “kerja” menurut kamus Bahasa Indonesia, melainkan juga harus dipahami secara filosofi dan luas. Sebab, pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya atau di negara lain pun telah melakukan kegiatan yang disebut “kerja”.
Sehingga penamaan Kabinet Kerja saat ini bukan berarti “menuding” pemerintahan lain (atau kabinet sebelumnya) tidak melakukan kerja. Hanya saja, Presiden Jokowi menyadari bahwa sistem pemerintahan yang terdiri dari berbagai komponen pemerintahan di dalamnya sejauh ini belumlah berjalan (bekerja) sebagaimana yang diharapkan.
Artinya, Presiden Jokowi nampaknya sangat tahu, bahwa komponen-komponen pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif) selama ini masih lebih banyak cenderung mempertahankan kebiasaan buruk, yakni banyak “tidur” (malas dan acuh tak acuh) namun banyak “makan diam-diam” (kongkalikong) seperti yang terjadi di pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Dan apabila kebiasaan buruk itu dipelihara atau tetap dibiarkan terjadi, maka kualitas kinerja Kabinet Kerja diyakini akan sama dengan kabinet-kabinet di pemerintahan sebelumnya. Yakni kegiatan pemerintahan terlihat dapat terselenggara tetapi kesejahteraan rakyat jalan di tempat, bahkan merosot.
Sebab perlu dicatat, bahwa selama ini kebiasaan buruk itulah yang membuat nasib rakyat tidak banyak berubah. Sehingganya kebiasaan buruk itu pula yang sangat ingin dihilangkan oleh Presiden Jokowi.
Makanya, Presiden Jokowi nampak tak pernah tertarik untuk melakukan menekan secara keras, apalagi penegasan ekstrem kepada Rizal Ramli selaku salah satu Menko yang kerap memberi “warning” secara tegas kepada sejumlah menteri untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang justru merugikan rakyat.
Dan menteri yang merasa kebijakannya sering “dihalau” oleh Rizal Ramli adalah Menteri ESDM, Sudirman Said.
Kemudian, mungkin karena merasa di-bekingi oleh Wapres Jusuf Kalla (JK), maka setiap mengetahui kebijakannya dihalang-halangi, Sudirman Said pun serta-merta melakukan “perlawanan” balik kepada Rizal Ramli secara frontal.
Bahkan dengan arogan dan angkuhnya, Sudirman Said kadang melontarkan kata-kata yang sangat kasar “pembohong, penipu” kepada lawannya yang tak lain adalah Rizal Ramli, koleganya itu, yakni Menko yang membawahi Kementerian ESDM.
Hal ini tentu saja sangat disayangkan. Sebab, sejauh ini Rizal Ramli selain tak pernah melontarkan kata-kata kasar, juga Rizal masih mampu memperlihatkan hormatnya kepada Presiden Jokowi dengan menggelar rapat-rapat koordinasi. Hanya saja Sudirman Said yang justru tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya alias mangkir dari setiap rapat-rapat yang diselenggarakan oleh Rizal Ramli.