PERBINCANGAN seputar BBM (Bahan Bakar Minyak) hingga saat ini masih menjadi trending topic di mana-mana serta sangat menyedot perhatian seluruh lapisan masyarakat.
Tak hanya di semua media massa maupun dalam forum-forum resmi, “pembahasan” mengenai BBM ini juga telah memenuhi meja-meja warung kopi, rumah-rumah makan (restoran juga warteg), dan bahkan telah menembus dinding-dinding dapur di setiap rumah tangga.
Umumnya, mereka sangat menolak jika pemerintah kembali menaikkan harga BBM. Sebagian lainnya bahkan meminta jika perlu pemerintah berupaya mencari cara agar harga BBM saat ini dapat diturunkan, atau paling tidak ada jalan tengah yang bisa ditempuh pemerintah dengan tidak menambah beban rakyat.
“Jika kondisi ekonomi rakyat di lapisan bawah masih sangat sulit seperti saat ini, saya tentu sangat tidak setuju apabila harga BBM lagi-lagi dinaikkan oleh pemerintah. Apakah memang tidak ada cara lain?” ujar Anton (55) kepada penulis di sebuah warung kopi di Kota Gorontalo, belum lama ini.
Seorang pemerhati sosial di Papua Barat, Azis (52), juga mengemukakan hal senada. Bahwa pemerintah sekarang, terlebih dengan pemerintah baru mendatang semestinya sudah harus punya konsep dan program yang jelas tentang bagaimana cara mengatasi persoalan BBM tanpa harus membebani rakyat kecil.
“Pemerintah seharusnya segera bergegas cari cara lain, jangan cuma pintar menaikkan harga BBM. Sebab, rakyat kita masih sangat banyak yang hidup di garis kemiskinan. BBM naik, pasti harga kebutuhan pokok lainnya juga ikut naik. Kasihan rakyat kita sudah terlalu lama menderita akibat kemiskinan,” tutur Azis kepada penulis via telepon seluler, belum lama ini.
Hasan (21), seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Gorontalo asal Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel)-Sulut, juga menggambarkan bayangan kesulitannya jika harga BBM dinaikkan. Ia menuturkan, betapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh orangtuanya jika pemerintah menaikkan harga BBM.
Menurut Hasan, jika harga BBM naik tentu biaya hidup jadi membengkak karena sudah pasti harga-harga kebutuhan hidup pasti ikut naik. “Kalau sudah begitu, pasti orangtua saya akan sangat kesulitan menanggung tiga saudara saya yang juga masih bersekolah. Sementara ayah saya hanyalah seorang pedagang kelontongan di pasar-pasar. Harusnya pemerintah mengambil cara lain untuk mengatasi masalah BBM, jangan caranya itu-itu saja (naikkan BBM), itu kan sama dengan tidak ada perubahan?!” keluh Hasan kepada penulis di salah satu warung makan di pinggiran jalan (sejenis warteg).
Seorang ibu rumah tangga di Kota Makassar, Fatima (45), juga mengaku akhir-akhir ini pikirannya selalu cemas setiap kali melakukan kegiatannya (memasak) di dapur. Pasalnya, Fatima yang selama ini hanya hidup dari penghasilan suami yang berprofesi sebagai sopir taksi itu merasa kecewa jika pemerintah mendatang ikut menaikkan harga BBM.
“Sekarang-sekarang ini kalau saya lagi memasak pasti dipikiranku soal BBM. Kalau pemerintah baru nantinya juga kasih naik lagi harganya, maka pasti harga-harga sayur, ikan, rempah-rempah dapur, gas juga ikut naik. Tidak adakah itu cara lain dari pemerintah kecuali cuma kasih naik harga BBM?” ujar Fatima bertanya-tanya kepada penulis seraya mengharap kepada Jokowi agar nantinya setelah menjadi Presiden jangan mengikuti kebiasaan presiden sebelumnya yang tak mampu mencari solusi lain selain hanya menaikkan harga BBM.
Dari berbagai komentar di atas tersirat persepsi, bahwa sesungguhnya publik (rakyat) sangatlah menghendaki adanya jalan tengah yang dapat ditempuh oleh pemerintah dalam menangani masalah BBM, jangan hanya dengan jalan keluar yang itu-itu saja, yakni selalu saja dengan cara menaikkan harga BBM.