(Ilustrasi: Abdul Muis Syam)
SEBETULNYA dulu Indonesia sudah nampak mulai bangkit. Jantung dan nadi perubahan serta otot-otot Reformasi sesungguhnya telah berhasil didenyutkan dan digerakkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kala itu, pola keseriusan dan ketegasan Presiden Gus Dur dalam upaya kebangkitan dan perubahan di negeri ini sangatlah sederhana, yakni hanya dengan ungkapan ringan namun amat “mematikan”, yakni “Gitu aja kok repot”. Dan ungkapan “sakti” inilah yang kerap terlontar dari mulut Presiden Gus Dur.
Kedengarannya memang santai, namun makna ungkapan itu sangat tajam dan bernyali. Sebab ungkapan itu tidaklah dilontarkan begitu saja secara asal-asal, melainkan terlontar dari hasil proses pikiran dan hati nurani yang paling matang serta mendalam sebagai seorang pemimpin bagi seluruh umat.
Setiap ada urusan atau masalah negara yang dilaporkan oleh bawahannya secara rumit dan bertele-tele, Presiden Gus Dur cukup melontarkan ungkapan “gitu aja kok repot” seraya menunjukkan cara pemecahan yang tidak neko-neko, yakni tanpa harus membuang-buang waktu serta energi dan biaya yang besar.
Sehingga itu, semua yang dianggap ribet di saat itu mulai dihilangkan, termasuk memangkas seluruh “tradisi” buruk era Orde Baru (Orba). Kenapa? Sebab diyakini hal-hal tersebut hanya akan berujung pada tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
“Tradisi” buruk era Orde Baru yang bertekad dihilangkan oleh Presiden Gus Dur tersebut di antaranya yang menonjol adalah:
1. Birokrasi yang bertele-tele dan sulit, padahal bisa dipermudah.
Para birokrat (pusat hingga daerah) di era Orde Baru dalam menangani urusan sangatlah gemar menempuh cara-cara sulit, padahal sangat bisa dipermudah. Mereka amat gemar melakukan cara-cara rumit, karena hanya dengan begitu mereka (para birokrat) tersebut bisa mendapatkan PT (Penghasilan Tambahan), seperti fee, pungli (pungutan liar), suap, dan lain sebagainya.
2. Syahwat bisnis keluarga istana beserta koleganya.
Hal ini diyakini sebagai suatu yang sangat buruk karena di dalamnya terdapat upaya melahap uang negara dengan cara-cara licik untuk memperkaya diri dan kelompoknya, yakni salah satunya dengan sangat mudah memonopoli proyek-proyek besar karena atas nama penguasa. Dan bukankah Soeharto lengser dari jabatannya karena ulah anak-anak dan keluarga serta kerabatnya yang amat leluasa mengikuti “syahwat” bisnisnya hingga merajai di mana-mana?
Bukan cuma dua hal tersebut di atas, tetapi semua hal yang dinilai tak cocok di alam Reformasi, secara sangat tegas segera dihilangkan oleh Presiden Gus Dur dengan cara-cara yang tidak ribet dan bertele: “gitu aja kok repot”.
Sayangnya, Presiden Gus Dur “kecolongan”. Sejumlah orang yang di masukkan ke dalam Kabinet Persatuan Nasional yang diduga “domba”, ternyata melahap bagai “komodo”. Dan belakangan, sejumlah orang tersebut terpaksa dipecat oleh Presiden Gus Dur, salah satunya adalah Jusuf Kalla (JK) atas dugaan kuat KKN untuk kepentingan bisnisnya.
Dan dari pemecatan tersebut, dalam konteks praduga tak bersalah, rakyat seharusnya sadar agar membuka mata lebar-lebar dan segera mencatat dengan huruf tebal, bahwa sosok yang telah berani menodai cita-cita Reformasi untuk pertama kalinya adalah salah satunya JK.