Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karena Pernah Selamatkan PLN, Makanya Rizal Ramli Paham Ada Apa “di Balik” Proyek 35 GW Sekarang

6 Juni 2016   00:01 Diperbarui: 6 Juni 2016   03:15 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MARI kita menengok sosok Rizal Ramli saat menjabat Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian pada era Presiden Gus Dur. Kala itu, sebagai Menko Perekonomian, Rizal Ramli (RR) benar-benar menjalani kesibukan yang sangat padat serta melelahkan, dan tentunya penuh dengan tekanan dari segala penjuru.

Putaran waktu 24 jam sehari terasa tak cukup baginya, namun Rizal Ramli tak pernah mengeluh, bahkan Sabtu dan Minggu pun harus dimanfaatkan bersama stafnya untuk menuntaskan masalah demi masalah yang melilit di negeri ini.

Bagaima tidak, Rizal Ramli sangat menyadari tanggungjawabnya kepada Bangsa Indonesia yang kondisinya belum juga pulih setelah dihantam krisis ekonomi 1997/1998. Daya beli merosot lantaran rakyat kecil kian sulit menjangkau barang-barang kebutuhan pokoknya.

Dan Rizal Ramli merasa bertanggungjawab agar dapat mengatasi berbagai problem ekonomi yang sangat pelik, yang menuntut proses pengambilan keputusan yang cepat, tepat, dan efektif. Dan itulah yang dilakukan oleh Rizal Ramli, meski harus berhadapan dengan berbagai ancaman serta teror dari pihak-pihak (sebut saja para mafia) yang berlawanan dengannya.

Umumnya, problem ekonomi yang harus dibenahi oleh Rizal Ramli adalah merupakan warisan Orde Baru. Sehingga di saat itu, tak salah jika kita menyebut Rizal Ramli sebagai “tukang cuci piring” dari “pesta” yang dilakukan oleh para pejabat dan kroni penguasa Orde Baru. Yakni, mereka yang telah berfoya-foya dan kenyang melahap “makanan” rakyat lalu hanya menyisakan “kotoran” yang berserakan di mana-mana. Dan yang mesti membersihkan “kotoran” tersebut adalah tim ekonomi Kabinet Gus Dur-Megawati, yaitu tim yang dipimpin Menko Perekonomian, Dr. Rizal Ramli.

Kasus proyek listrik swasta, misalnya, benar-benar menguras energi dan pikiran Rizal Ramli. Betapa tidak? Pada era pemerintahan Soeharto, untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan tenaga listrik, pemerintahan yang dipimpin Soeharto mengundang sektor swasta masuk ke bisnis pembangkit listrik. Produksi listriknya kemudian dijual kepada PLN.

Paling tidak, saat itu terdapat 27 proyek listrik swasta, yang didirikan oleh perusahaan listrik dari negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Jerman. Mereka menggandeng keluarga dan kroni Soeharto untuk mendirikan perusahaan listrik swasta itu.

Menurut harian The Jakarta Post (19 April 2001), Sengkang Power, yang beroperasi di Sulawesi Selatan, dimiliki oleh Energy Equity dengan saham 47,5%; Elpaso Energy International 47,5%; dan PT Triharsa Sarana Jaya 5% (milik putri Soeharto Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut). Sementara itu, Jawa Power sahamnya dimiliki Siemens Power 50%, PowerGen Plc 35%, dan PT Bumi Pertiwi Tatapradipta – yang terkait dengan putra Soeharto Bambang Trihatmojo sebesar 15%. Dan hal inilah didalami dan sangat dipahami Rizal Ramli ketika itu.

Perusahaan listrik swasta independen tersebut membangun proyek pembangkit listrik dengan pola BOT (Build, Operate, Transfer), di mana kemudian akan melego energi listriknya kepada PLN selama jangka waktu 30 tahun.

Dan setelah 30 tahun, pembangkit listrik tadi menjadi milik pemerintah. Ke-27 perusahaan listrik swasta tadi pada tahun 1996 meneken perjanjian jualbeli listrik dari pembangkit swasta ke PLN yang tertuang dalam PPA (Power Purchase Agreement)/ESC (Energy Sales Contract).

Harga jual energi listrik yang dibebankan kepada PLN ternyata sangat gila-gilaan, berkisar antara US$ cents 7– 9 per kWh. Bandingkan dengan penjualan listrik swasta di negara-negara Asia lainnya ketika itu yang cuma sekitar US$ cents 3,5 per kWh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun