[caption id="" align="alignnone" width="599" caption="Ilustrasi/Abdul Muis Syam: Kemiskinan kerap memaksa seseorang berbuat kriminal"][/caption] AKIBAT ulah busuk dari para elit parpol yang selama ini banyak menyakiti hati rakyat, membuat penyelenggaraan Pemilu 2014 ini dapat diyakini hanya akan menjadi ajang atau momen “balas dendam” oleh rakyat kepada parpol yang masuk dalam daftar hitam sebagai parpol korup. “Balas dendam” pertama sudah terlaksana (sebagai bentuk peringatan), yakni perolehan suara partai penguasa beserta sebagian besar parpol koalisinya dalam perebutan kursi pada Pileg 9 April 2014 lalu itu, merosot ke urutan papan tengah. Bahkan rakyat berhasil “membonsai” perolehan suara seluruh parpol dengan tidak satupun yang lolos dalam ketentuan presidential threshold. Kondisi tersebut kemudian memaksa dan mengharuskan seluruh parpol untuk melakukan koalisi satu sama lain agar dapat memajukan pasang calon (Capres-Cawapres) masing-masing. Artinya, demi terlaksananya Pemilu, maka sadar atau tidak, dan diminta atau tidak, seluruh parpol pastilah akan berkoalisi. Jadi seharusnya, parpol tidak perlu terlalu tegang menghadapi persoalan koalisi. Sebab, itu tadi, kondisi perolehan suara Pileg dalam menuju Pilpres seluruh parpol memang menghendaki untuk dapat membangun koalisi. Tinggal bagaimana parpol menyesuaikan sesuai dengan ideologi masing-masing. Parpol seharusnya serius menyikapi secara cermat sebuah kondisi terkini, bahwa sebagian besar rakyat sebetulnya tak lagi menaruh kepercayaan kepada para parpol. Dan kondisi ini, sekali lagi, ditunjukkan dengan hasil perolehan suara pada Pileg April lalu. Ini dulu yang harus disadari, lalu bergegas mencari jalan keluarnya sembari membangun koalisi! Jika para parpol lebih fokus membangun koalisi dengan hanya berdasar pada jumlah “amunisi suara serta biaya politik”, dan itu yang kemudian membuat sepakat untuk memajukan seorang kadernya masing-masing untuk dijadikan pasangan calon (Capres-Cawapres) tanpa mempertimbangkan hitung-hitungan kriteria pemimpin ideal menurut keinginan rakyat, maka para parpol tersebut sesungguhnya telah kembali terjebak kepada kepentingan kelompok, bagi-bagi kekuasaan. Dan di situlah pula sebetulnya “pintu pertama” terjadinya Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) secara berjamaah. Perlu diingat, bahwa rakyat saat ini juga sebetulnya sedang sangat “sibuk” mencari sejumlah sosok di luar parpol yang dianggap lebih berkualitas dan juga dinilai lebih mampu menuntaskan masalah-masalah yang sedang melilit bangsa dan negara kita saat ini. Artinya, rakyat saat ini selaku pemilih benar-benar ingin memanfaatkan Pemilu 2014 ini sebagai momentum untuk melahirkan pemimpin sesuai “selera” rakyat. Yakni, yang paling utama adalah pemimpin yang mampu mengangkat derajat kesejahteraan ekonomi rakyat. Sehingga itu, mereka (rakyat) sesungguhnya lebih fokus mencari pemimpin yang ahli, tangguh dan berpengalaman di bidang ekonomi. Sejumlah warga yang berhasil saya temui di lapangan menuturkan, bahwa masalah ekonomi adalah persoalan yang sangat penting dan tak bisa ditawar-tawar lagi untuk didahulukan penanganannya, dan rakyat merasa belumlah mengutamakan masalah hukum. “Sebab, masalah hukum sudah jelas, sudah ada ketentuannya, tinggal bagaimana dilaksanakan saja. Ini berbeda dengan masalah ekonomi yang memerlukan penanganan khusus dari orang-orang yang khusus pula,” ujar Dewi (20), warga Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo. Sebagai mahasiswi di salah satu perguruan Tinggi di Gorontalo, Dewi memandang belum perlu memunculkan pemimpin yang ahli hukum karena negara ini masih aman-aman saja. “ Yang tidak membuat aman karena masalah himpitan ekonomi juga yang memaksa seseorang berbuat kriminal. Dan persoalan-persoalan hukum yang menjadi isu-sentral selama ini hanya seputar masalah korupsi. Masalah itu kan (korupsi) sudah ada yang tangani, ada KPK, ada Polisi, ada Jaksa, ya cukuplah lembaga-lembaga itu yang menanganinya,” ujarnya. Lagian, kata Dewi, masalah korupsi itu juga tidak lain adalah akibat dari masalah “nafsu” ekonomi yang tak “terkendali”. Sehingga itu, Dewi berharap pada Pilpres 2014 kali ini bisa memunculnya Capres atau Cawapres sosok ekonom yang ahli, handal dan tangguh dalam memperjuangkan ekonomi kerakyatan, sekaligus dapat mengendalikan jalannya ekonomi di negara ini. “Saya lebih memilih sosok ekonom yang benar-benar ahli dalam bidang ekonomi, yang tangguh serta handal memperjuangkan ekonomi rakyat untuk dapat menjadi presiden atau wakil presiden pada Pilpres kali ini,” tegas Dewi menjawab pertanyaan: ingin lebih memilih capres/cawapres yang mana, yang ahli ekonomi, ahli hukum, ahli militer, atau yang ahli berbisnis? Hal senada juga dikemukakan oleh Wisnu (53), Warga Kecamatan Sumalata, Kabupaten Gorontalo Utara. Ia mengatakan, jika ahli hukum yang dipilih jadi presiden atau wakil presiden hanya karena alasan agar bisa menuntaskan masalah korupsi, maka orang-orang miskin di negara ini tidak akan pernah bisa sejahtera karena hanya lebih fokus mengurusi kasus korupsi yang prosesnya sangat panjang bertahun-tahun dan berbelit-belit. “Kasus korupsi mana yang bisa cepat selesai? Dalam prosesnya, untuk cari bukti-buktinya saja makan waktu tahunan dan makan biaya negara yang tidak sedikit, belum ini dan belum itu. Coba lihat kasus Nazarudin (mantan Bendum PD), kasus hambalang, kasus Century. Dan sampai menjelang masa jabatan SBY habis, kasus-kasus itu belum juga ada tanda-tanda penuntasannya. Berapa banyak uang negara yang sudah dihabiskan untuk menangani kasus-kasus yang entah kapan bisa selesai itu? Orang miskin keburu mati!?,” celoteh Wisnu. Sebagai salah seorang anggota Kelompok Tani-Nelayan di daerahnya, Wisnu menegaskan, orang-orang miskin di negara ini hanya bisa diselamatkan oleh pemimpin ekonom yang benar-benar memiliki keahlian dan ketangguhan di bidang ekonomi kerakyatan. “Koruptor kan lebih banyak pejabat, dan pejabat kan juga termasuk rakyat. Jadi ekonomi pejabat itu harus juga bisa diatur dengan baik, misalnya diawasi dengan ketat oleh lembaga-lembaga hukum, seperti KPK,” katanya. Sehingga itu, kata Wisnu, para parpol koalisi harus hati-hati dan cermat menentukan pasangan calon (Capres-Cawapres) untuk dimajukan dalam Pilpres kali ini. Sebab, rakyat akan menolak mentah-mentah jika tidak sesuai dengan selera dan kebutuhan rakyat dalam mengatasi persoalan ekonomi. Sejauh ini, katanya, rakyat sudah banyak yang kecewa dengan perilaku buruk parpol. Sehingga Pilpres 2014 kali ini sebetulnya bukan lagi zamannya parpol yang harus seenaknya menyuguhkan pasangan capres menurut selera parpol atau kelompok tertentu. “Sebab rakyat juga punya selera sendiri yang menjadi kepentingan dan kebutuhan kami sebagai rakyat selama ini. Selera kami adalah sangat membutuhkan pemimpin yang ahli di bidang ekonomi yang mampu mengangkat derajat kesejahteraan ekonomi kami. Kami tidak butuh kader parpol yang sesungguhnya tidak layak dan tidak sesuai dengan kebutuhan kami, serta hanya disengaja ditetapkan sebagai Capres atau Cawapres karena berdasar kesepakatan koalisi. Dan itu tidak kami inginkan. Tetapi jika itu dipaksakan, maka kami juga terpaksa tidak akan memilih. Maaf ini sebuah prinsip...!!!,” pungkas Wisnu. ---------- SALAM PERUBAHAN 2014...!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H