SEMUA orang yang dalam keadaan sadar tentulah tahu persis, bahwa tugas Jokowi sebagai presiden RI pasca pemerintahan SBY sungguh amatlah berat dan sangat rumit.
Artinya, “peta” atau kondisi tugas Presiden Jokowi ke depan sudah jelas terlihat medannya sangatlah rumit dan berat. Yakni, selain terdapat tumpukan nan menggunung masalah bangsa dan negara yang “diwariskan” oleh pemerintahan SBY, Jokowi juga tak bisa menghindar untuk senantiasa “berhadapan” dengan kelompok penguasa di parlemen yang menjadi rival politiknya pada Pilpres 2014 kemarin, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP).
Sebagai perbandingan, meski secara mayoritas juga bisa menguasai kekuatan di parlemen, nyatanya SBY saja sangat kesulitan dan amat berat menunaikan tugasnya selaku presiden dua periode, apalagi Jokowi yang secara jelas-jelas kekuatannya sangat “kerdil” di parlemen saat ini, tentunya akan jauh lebih sulit lagi dibanding SBY.
Jika Jokowi bisa selalu sadar dengan peta atau kondisi tugasnya sebagai presiden yang begitu rumit dan amat berat seperti tersebut di atas, maka ia tentu tak ingin keliru apalagi salah langkah dalam bersikap dan bertindak selaku presiden, termasuk dalam memilih dan menempatkan orang-orang dalam kabinet sebagai menteri.
Sedikit saja kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan oleh Jokowi bersama para menterinya dalam menjalankan pemerintahan, KMP bisa dipastikan langsung “menerkam”.
Olehnya itu, untuk menghindari “terkaman” KMP (mungkin juga kemurkaan dari rakyat), Jokowi hendaknya jangan pernah mau salah dalam memilih menteri. Sebab, ujung tombak sekaligus penggerak roda pelaksanaan program pemerintahan Jokowi ke depan adalah para menterinya.
Apabila para menteri yang dipilih oleh Presiden Jokowi nantinya tak mampu mewujudkan Trisakti dan Indonesia Hebat, karena para menteri tersebut ternyata berasal dari kaum neolib dan para politisi yang punya black-list serta para hamba negara asing, maka jangan salahkan KMP ataupun rakyat apabila harus melakukan gerakan perlawanan “serius” terhadap pemerintahan Jokowi-JK.
Jika ingin menutup pintu pergerakan perlawanan KMP dan juga dari rakyat, maka Presiden Jokowi hendaknya segera bergegas membuktikan omongannya tentang istilah: “Koalisi Tanpa Syarat”, yakni dengan tidak memilih orang-orang untuk menjadi menteri serta jabatan lainnya berdasar hasil koalisi atau karena dinilai telah “berjasa” dalam pemenangan Jokowi-JK pada Pilpres lalu.
Jokowi hendaknya janganlah seperti kura-kura dalam perahu, atau seakan-akan tak tahu karakter, watak dan niat yang terselubung dari orang-orang yang saat ini sedang menggantung di ketiak Jokowi. Seperti para parpol yang merapat dan berkoalisi dengan PDIP, juga dengan para timses “abu-abu” seperti Anies Baswedan (dkk), Rini M Soemarno (dkk), Sofjan Wanandi (dkk), serta lain sebagainya seperti Sri Mulyani Indrawati, Chatib Basri, Kuntoro Mangkusubroto, Chairul Tanjung, Denny Indrayana, Rusdi Kirana, Agus Martowardoyo, Karen Agustiawan, dll.
Mereka-mereka semua itulah sesungguhnya yang sangat memiliki kepentingan dan ambisi besar untuk mendapatkan kekuasaan dan kepuasan pribadi maupun kelompok diri masing-masing. Dan mereka-mereka itulah yang sangat patut diduga sebagai kaum neolib, yakni pihak yang akan merusak sekaligus bisa jadi akan menjegal Jokowi di tengah jalan sebagai presiden, bukan KMP.
Jika perlu, Presiden Jokowi harus bisa dengan tegas menyatakan kepada mereka: “bahwa sebagai timses, tugas kalian telah selesai.” Selanjutnya, Presiden Jokowi hendaknya segera berkonsentrasi untuk “bekerjasama” dengan KMP. Yakni bekerjasama dalam arti, bahwa Jokowi sebagai presiden harus bisa berkolaborasi dengan KMP sebagai pihak “pengawas” langsung terhadap jalannya roda pemerintahan baru di negeri ini. Itulah salah satu wujud dari “revolusi mental”.