KONTROVERSI megaproyek reklamasi Pantai Utara Jakarta terus berlanjut, dan sepertinya sudah semakin jelas tentang siapa berpihak siapa.
Awalnya, pelaksanaan megaproyek yang digarap sebagian besar oleh perusahaan milik non-pribumi itu disambut dengan gelombang penolakan keras dari rakyat, terutama dari para nelayan dan sejumlah aktivis LSM pemerhati sosial dan lingkungan hidup.
Menyadari perlawanan dari rakyat yang semakin kuat, Ahok selaku Gubernur “estafet” DKI Jakarta itupun makin geram. Bahkan tak jarang Ahok mencaci dan menghina siapa saja yang ingin menghalang-halangi pembangunan reklamasi tersebut, termasuk rakyat kecil dengan kata-kata kasar dan kotor.
Kata-kata kasar dan kotor dari seorang kompeni Belanda di zaman penjajahan sepertinya masih lebih “santun” ketika murka kepada pribumi: “verdomme..” (Sialan..), tetapi kata-kata yang muncrat dari mulut si Ahok sungguhlah sangat kotor dan kasar demi membela kepentingan pengusaha sebagai kaum kapitalis itu.
Ahok yang “berhasil menampakkan diri” sebagai pemimpin dengan berani melawan siapa saja melalui sikap tegas namun diikuti kata-kata kotor dan kasar itu, sesungguhnya menunjukkan, bahwa Ahok selalu memaksakan kehendaknya karena merasa dirinya adalah satu-satunya pemimpin di muka bumi ini yang paling benar.
Pemimpin model seperti Ahok ini tentu saja sangat (teramat) berbahaya. Sebab, pandangan dan pendapat orang lain hanya dianggap sebagai “sampah dan kotoran”, akibatnya kebebasan berpendapat dan bahkan kedaulatan rakyat pun dipastikan hanya akan menjadi “pengalas kaki” si Ahok.
Hanya ada 2 kemungkinan tentang mengapa Ahok begitu sangat “tegas dan berani” (tapi kasar dan kotor) itu. Pertama, Ahok mungkin merasa sebagai orang YANG PALING DEKAT dengan Jokowi yang kini menjabat sebagai Presiden RI. Kedua, Ahok kemungkinan memang adalah seorang “model penjajah” masa kini.
Padahal, dengan tidak menjaga mulutnya dari kata-kata kotor dan kasar justru menunjukkan, bahwa Ahok sesungguhnya bukanlah seorang pemimpin yang tegas, melainkan seorang amoral yang sama sekali tidak patut dicontohi oleh generasi mendatang.
Juga, dengan tidak mampu menjaga mulutnya dari kata-kata kotor dan kasar justru menunjukkan, bahwa Ahok sesungguhnya hanya ingin membuat malu Presiden Jokowi, sebab ia pernah menjadi pendamping Jokowi sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Selanjutnya, dengan sulitnya menjaga mulutnya dari kata-kata kotor dan kasar justru menunjukkan, bahwa Ahok sesungguhnya memperkenalkan dirinya sebagai seorang “penjajah” model masa kini, bukan sebagai seorang pemimpin tegas.
Sebab, pemimpin tegas pasti diikuti sikap arif dan bijaksana dengan tetap menjaga setiap lontaran kata-kata yang keluar dari mulutnya agar tidak mengkhianati dan menyakiti hati rakyatnya.