HINGGAsaat ini, dari 10 partai politik (parpol) yang mengisi kursi di DPRD DKI Jakarta, baru 4 parpol yang telah menunjuk sosok calon gubernur yang akan dimajukan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Yakni, Gerindra yang mengusung Sandiaga Uno. Sedangkan Partai Golkar, Hanura dan Nasdem berkoalisi mengusung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Status Sandiaga sebagai calon gubernur masih belum aman. Sebab, Gerindra yang memiliki 15 kursi masih harus mencari parpol lain untuk memenuhi syarat usung pasangan calon sebesar 20% atau 22 kursi.
Sampai itu, Sandiaga sepantasnya harus terus “menjelajah” agar bisa “membujuk” parpol lainnya untuk dapat bergabung dengan partai yang pernah ditumpangi oleh Ahok pada Pilkada DKI 2012 silam itu.
Artinya, jika saat ini Sandiaga masih harus terlihat berusaha mencari parpol lain untuk pemenuhan syarat usung tersebut, maka tentu itu adalah hal yang wajar.
Lalu bagaimana dengan Ahok yang meski sudah diusung oleh Hanura (10 kursi), Golkar (9 kursi) serta Nasdem (5 kursi), ditambah Teman-Ahok, dan bahkan oleh sebuah lembaga survei sudah sesumbar menelorkan Ahok sebagai calon dengan elektabilitas yang paling tinggi. Tetapi kok sampai saat ini Ahok sepertinya juga terus “mengemis” dukungan dari PDI-P dan sejumlah parpol lainnya? Ada apa? Bukankah seharusnya Ahok tenang-tenang saja karena dukungan sudah aman?
Secara politik, pertanyaan seperti ini amat mudah dijawab, dan sangat bisa ditebak gerangan apa yang membuat Ahok kelihatan “serakah” mencari dukungan dari parpol lain.
Yakni, bahwa hal itu sangat jelas adalah bentuk kecemasan Ahok. Kecemasan pertama adalah, Ahok cemas jangan-jangan 3 parpol yang telah mengusungnya (Hanura, Golkar, Nasdem) salah satunya akan menarik diri pada detik-detik akhir penentuan.
Dan untuk menghilangkan kecemasan seperti itu, Ahok pun berupaya untuk sebisa mungkin mendapatkan parpol “serep” untuk “diperalat” demi memuluskan ambisinya sebagai “pemburu” kekuasaan. Bukankah hal ini memang telah terlihat pada diri Ahok, yang sejak awal perjalanannya dalam dunia politik memang sudah berulang-ulang melakukan “loncatan-loncatan” bak kutu loncat?
Kecemasan kedua adalah, Ahok saat ini sepertinya sangat ketakukan melihat begitu derasnya aspirasi murni rakyat dari segala penjuru yang terus bermunculan mendukung Rizal Ramli untuk maju menjadi pemimpin di DKI sebagai gubernur pada Pilkada DKI 2017.
Tanda-tanda kecemasan dan ketakutan Ahok terhadap Rizal Ramli yang disebut-sebut sangat layak dimajukan sebagai calon gubernur DKI Jakarta, yakni terlihat dan dimunculkan pertama kali oleh Ahok sendiri. “Jadi Gubernur BI (Bank Indonesia), kalii. Dia (Rizal Ramli) Gubernur BI mungkin kali ya? Gubernur DKI enggak saya kira,” kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (29/7).
Kalau orang jeli mengamati pergerakan politik di DKI Jakarta, maka ia akan melihat sangat jelas, bahwa Ahok sebetulnya tidaklah terlalu cemas melawan dan berhadapan dengan semua figur (misalnya, Sandiaga Uno dan lainnya) yang sejak awal disebut-sebut akan maju sebagai calon gubernur.