SEPANJANG zaman penjajahan di negeri yang kita cintai ini, penindasan dan kekejaman kaum imperialis sungguh sangat menyayat hati dan membuat rakyat harus menderita di negerinya sendiri. Dan, ketika muncul pergerakan yang digerakkan oleh seorang pejuang, maka para pemimpin penjajah di saat itu pun (kompeni, misalnya) langsung murka: “verdomme...”, dan menuding para pejuang kita itu sebagai tukang gaduh.
Tjut Njak Dhien, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Pattimura, Antasari, Jenderal Sudirman, Sam Ratulangi, I Gusti Ngurah Rai, Marthen Indey, dan semua pahlawan kita di nusantara ini ketika melakukan perlawanan dan perjuangan guna membela hak-hak rakyat tertindas pasti diteriakin: “Tukang Gaduh” oleh para kompeni.
Kisah “tukang gaduh” di mata kompeni juga diceritakan dalam legenda “si Jampang dan si Pitung”. Dua pendekar silat sang pembela rakyat itu sangat membuat kompeni geram karena dianggap sering membuat kegaduhan.
Padahal, tudingan para penjajah (kompeni) yang menyebut pejuang-pejuang kita sebagai “tukang gaduh” itu sesungguhnya adalah sebuah ekspresi para penjajah (penindas) karena merasa kenyamanannya telah diganggu oleh para pejuang kita.
Dan tudingan sebagai “tukang gaduh” rupanya juga tak luput harus dialami oleh Rizal Ramli, sosok yang memang dikenal sejak dulu memiliki jiwa kerakyatan dan nasionalisme yang sangat tinggi.
Yakni, sejak dulu secara tegas ia sama sekali tak ingin berkompromi apalagi harus tunduk kepada pihak-pihak mana pun jika hanya mencederai dan mengkhianati rakyat di negeri ini. Dan sikap seperti ini sudah diperlihatkan oleh Rizal Ramli di masa Orde Baru sebagai aktivis mahasiswa, meski pada akhirnya ia harus dipenjara oleh rezim ketika itu.
Sehingga itu tak perlu heran, tentang mengapa baik di luar maupun di dalam pemerintahan, Rizal Ramli tak pernah mau diam apalagi jika ingin disumbat mulutnya ketika “mendeteksi” adanya sebuah penyimpangan? Ya, sebab memang di hati dan di jiwa Rizal Ramli sudah terbiasa konsisten berpihak dan berdiri di barisan rakyat, terutama rakyat kalangan bawah yang tertindas.
Dan sikap Rizal Ramli itulah yang kemudian disebut “tukang gaduh” oleh pemerintah, yakni sebuah tudingan yang mirip-mirip sering dilontarkan oleh kompeni ketika merasa kenyamanannya terganggu oleh sikap para pejuang kita di masa lalu. Sungguh miris, dan betapa amat ironis tudingan “tukang gaduh” bagi pembela hak-hak rakyat seperti Rizal Ramli justru terjadi di saat negeri ini telah memproklamirkan kemerdekaannya dari belenggu kaum “kompeni”.
Jika pihak-pihak “sebelah” mau memakai kacamata rakyat dan bercermin dari sejarah untuk melihat “teriakan ataupun koar-koar” yang disebut sebagai kegaduhan yang dilakukan oleh Rizal Ramli, maka tentu tidak akan menyudutkan Rizal Ramli seperti ini.
Dan ingat, pejuang sejati pembela hak-hak rakyat tertindas tidak akan pernah berkompromi meski sebuah persoalan telah melalui pengambilan keputusan (dalam suatu rapat kabinet, misalnya). Sebab, para penjajah juga melakukan hal yang sama dengan mengundang pejuang kita duduk bersama dan berunding untuk menyepakati sebuah perjanjian, tetapi justru melalui perjanjian seperti itulah yang membuat tak sedikit pejuang kita berhasil ditaklukkan oleh kompeni.
Dan mari kita simak baik-baik sejumlah pesan dari Bapak Pendiri Bangsa ini, Soekarno buat kita semuanya, yakni :