Maka, saat itu Rizal Ramli pun bertemu dengan para pejabat Departemen Keuangan. Ia meminta PLN diberi keringanan untuk menunda pembayaran pajak revaluasi asetnya. Pembayarannya akan dilakukan dengan cara mencicil. Para pejabat Depkeu menolak permintaan itu. Alasannya: belum ada peraturannya, dan sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Alasan ini kemudian membuat Rizal Ramli harus memaksa orang-orang di Depkeu agar membuka logika berpikirnya. “Sekarang saya tanya, ada perbedaan tidak, antara membayar pajak sekarang, atau membayar pajak dalam jangka waktu 5 – 7 tahun, dicicil lengkap plus bunga dan dendanya?” tanya Rizal Ramli.
“Sama saja, Pak. Tidak ada bedanya,”jawab salah satu pejabat Depkeu.
“Kalau begitu, PLN bisa dong mencicil pajaknya,” kata Rizal Ramli.
“Tidak bisa. Belum ada peraturannya,” kata pejabat itu.
Rizal Ramli terdiam sesaat. Ia merasa heran mendapati kekakuan birokrasi pemerintahan. “Begini, pemerintah itu kan kita. Coba sekarang bikin peraturannya. Yang penting dari peraturan itu tidak ada conflict of interest. Bisa enggak dibikin?”
“Bisa, Pak” ujar pihak Depkeu.
Setelah itu, akhirnya bereslah persoalan PLN.
Dan begitulah, untuk menyelamatkan PLN Rizal Ramli mesti pontang-panting ke mana-mana. Melakukan negosiasi yang panjang dan melelahkan, melobi kanan-kiri, bahkan kalau perlu, main gebrak meja pun dilakukannya.
Rizal Ramli merasa puas karena berhasil menyelamatkan PLN dari kebangkrutan. Yang lebih penting lagi, negara terbebas dari tambahan beban utang yang besar. “Masyarakat, terutama rakyat kecil, juga terhindar dari kemungkinan membayar tarif listrik yang jauh lebih mahal seandainya harga listrik swasta tidak bisa diturunkan,” ujarnya.
PROYEK 35 GW ERA PRESIDEN JOKOWI SAAT INI