KELAKUAN elit-elit politik yang diberi amanah sebagai pejabat negara di negeri ini sejak dulu selalu saja begitu, tak pernah berubah dan bahkan kini tambah parah, --sangat bobrok dan amat menjijikkan.
Mungkin karena sudah terlalu banyak melahap duit haram sampai-sampai hati dan pikiran mereka kini telah dipenuhi kotoran, sehingga sudah sangat sulit dibersihkan dan dipulihkan dengan obat apapun, kecuali dengan cara amputasi, alias memberlakukan hukum mati bagi para koruptor atau para pejabat negara yang gemar menyalahgunakan wewenangnya, misalnya berbisnis dalam pemerintahan untuk mendapatkan keuntungan baik melalui proyek maupun sebagai lintah darat.
Persoalannya sekarang memang terletak pada hukum di negeri ini yang masih saja sulit ditegakkan. Hukum hanya benar-benar tegak dengan angkuhnya di depan rakyat yang lemah, namun sangat rapuh dan cenderung mudah ditakluklan oleh kekuatan uang dan kekuasaan politik.
Kondisi hukum seperti inilah yang membuat para pejabat kotor senantiasa tak gentar dan tak segan-segan menyalahgunakan wewenangnya dengan berbagai jenis kelakuan buruk demi memperoleh keuntungan dan kekayaan berlimpah untuk diri atau kelompoknya.
Berbagai kelakuan yang dimaksud misalnya, menjadi pencatut, “pecatur”, dan bahkan menjadi “pelacur” politik dalam pemerintahan.
Lihat saja, situasi negeri kita beberapa hari terakhir ini tiba-tiba menjadi geger akibat atraksi dari sejumlah pejabat negara, ada yang sedang berakrobat secara senyap, ada pula yang sedang melakukan lompatan-lompatan dadakan bagai pahlawan kesiangan.
Situasi itu pun membuat panggung politik di dalam pemerintahan terasa bergetar kuat bagai digoyang gempa. Sudirman Said (SS) selaku Menteri ESDM secara mendadak melaporkan Ketua DPR Setya Novanto (SN) ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
SS menuding SN meminta saham di PT. Freeport dengan mencatut nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Di mata publik, ulah SN memang sangatlah tidak pantas karena selain dinilai telah melanggar etika moral, perbuatan SN itu juga dinilai salah satu upaya berburu rente dengan membawa dan menjual nama Presiden dan Wakil Presiden.
Namun di sisi lain, akrobat atau sikap dadakan yang ditampilkan SS itu bisa saja dianggap lebih cenderung sebagai “pelacur” dalam pemerintahan, sebab sepertinya ada “pecatur” politik yang telah mengatur semua itu.
Hal ini terindikasi dari mimik kaku SS di hadapan publik yang terkesan tidak seirama dengan langkah keberaniannya melaporkan SN ke MKD. Dan jika tudingan ini benar, maka tentu banyak yang memuji sikap heroik SS, sekaligus termasuk saya (penulis) yang paling ngotot mendesak SN untuk mundur dari jabatannya. Itu yang pertama.