Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Secuil "Biografi" Negara di Tangan SBY

19 Januari 2014   06:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KITA semua tahu dan sangat paham, bagaimana kini kondisi Indonesia tercinta ini.  Yakni, punya kekayaan alam yang melimpah dan terkandung di perut Ibu Pertiwi, tetapi rakyat kita masih sangat banyak yang sengsara. Itu karena kekayaan alam (bumi) yang kita punyai saat ini lebih banyak “disedot” dan dikuasai oleh negara asing.

Sungguh aneh, sekaligus memilukan. Bayangkan! Di kala negara asing sudah menyedot kekayaan alam negara ini, kita malah punya utang (berutang) kepada mereka (negara asing itu)..??!!! Woww… Luar biasa..!!??

Yaa…Negara kita punya banyak utang luar negeri yang menggunung, dan punya hasil pajak yang menggumpal-gumpal, tetapi sebagian besar hanya dilahap oleh koruptor, sampai-sampai keuangan negara pun jadi defisit, lalu berutang kembali untuk menambal “kebocoran-kebocoran” yang ada…!?!

Harusnya, dalam kondisi seperti itu, rakyat kita sudah tak ada lagi yang hidup miskin, menderita bing sengsara. Tak ada lagi yang mati digebukin dan dikeroyok karena mencuri ayam; tak ada lagi ibu yang mencekik bayinya karena tak mampu membeli susu; tak ada lagi istri yang membunuh suaminya dengan linggis karena dililit kesulitan ekonomi; tak ada lagi anak remaja yang tega menghabisi nyawa ibu kandungnya karena tak diberi uang jajan; tak ada lagi artikel seperti ini yang terposting di kompasiana atau di blog lainnya; serta tak ada lagi yang harus disomasi karena dianggap memfitnah, dan lain sebagainya.

Dan dalam kondisi berlimpahkan kekayaan alam hasil bumi, akumulasi pajak dari rakyat, punya utang luar negeri, seharusnya ekonomi negara kita sudah sangat mapan,  dan rakyat kita tentu sudah sangat sejahtera. Sehingga tak perlu lagi pemberian subsidi BBM; tak perlu lagi ada BLSM; tak perlu lagi repot-repot berlakukan SJSN, kartu sehat atau sejenisnya; tak perlu lagi pengurus tempat ibadah atau panti asuhan “mengemis” ke sana-ke mari memohon bantuan; serta tak perlu lagi susah-susah menggusur pedagang kaki-lima, mengusir keluarga purnawirawan dari eks rumah dinasnya, dan lain sebagainya.

Apalagi kita punya presiden dua periode (SBY) yang bergelar doktor pertanian, maka seyogianya pembangunan pertanian kita hari ini bisa lebih maju dan berkembang. Namun sayang, sungguh sangat disayangkan, negara yang subur ini justru lebih doyan bergantung pada impor. Mulai dari beras, daging sapi, kelapa, gula (tebu), hingga kedelai dan lain sebagainya, semua kini diimpor.

Derajat  ekonomi para petani kita juga malah semakin menurun bersamaan dengan giatnya pemerintah “berimpor-ria”, petani pun jadi malas dan lesu, lalu berkuranglah jumlah petani kita. Menurut data BPS, selama satu dasawarsa, jumlah rumah tangga petani kita berkurang 5 juta lebih. Lahan produktif juga makin menyempit karena alih-fungsi.

Betapa pembangunan di bidang pertanian kita saat ini malah jadi “tandus”, alias tak berkembang secara signifikan di bawah kepemimpinan seorang presiden yang bertitel doktor pertanian, tetapi nyatanya boleh dikata tidak ahli di bidang pertanian. Seharusnya, sebagai negara agraris yang sangat subur, Indonesia sudah bisa menjadi negara mandiri, sekali pun “mungkin” tak dipimpin oleh seorang doktor pertanian.

Selain sebagai doktor pertanian, SBY sebagai presiden juga adalah seorang militer, namun budaya dan warga kita (TKI) sering “dilecehkan” oleh negara lain; batik dan sejumlah tari-tarian kita seenaknya diklaim oleh negara luar sebagai milik mereka; korupsi merajalela; teroris “mendadak” muncul; daftar polisi tertembak pun makin bertambah, perampokan di sejumlah toko emas dan supermarket mulai meningkat, ada aksi koboi adu jotos antara polisi dan TNI, jaringan bisnis narkoba pun makin meluas, dan sebagainya. Seakan presiden militer itu (SBY) tak ditakuti, juga tak lagi disegani? Padahal dulu kita punya Presiden bukan militer tetapi sangat disegani oleh rakyat, baik di dalam maupun di luar negeri. Misalnya, Presiden Soekarno.

Banyak sekali kalangan yang tak habis pikir. Hampir 10 tahun berkuasa, tetapi rakyat masih sangat bingung menebak karakter presidennya, SBY. Sampai-sampai, tak sedikit orang bertanya-tanya: “apakah SBY benar-benar presiden dari kalangan militer, punya gelar doktor pertanian, atau seorang “banci”..??? Kok setiap ada masalah-masalah selalu dikeluhkan melalui curhat ke publik???

Akibatnya, rakyat pun jadi pusing berat, niatnya untuk curhat ke presiden (pemerintah) harus dibatalkan dan terpaksa hanya dipendam dalam hati. Kenapa? Karena presiden lebih dulu melakukan curhat di hadapan publik. Bagai seorang “anak” yang terpaksa membatalkan niatnya untuk meminta sesuatu kepada “bapaknya”, lantaran sang bapak lebih dulu sudah mengutarakan keluhannya (curhat) di hadapan anak-anaknya. Sehingga, rakyat pun kini lebih banyak memilih diam dan pasrah dengan kondisi yang sangat sulit seperti saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun