Mestinya, sebagai langkah awal dalam upaya mewujudkan revolusi mental, jumlah orang profesional haruslah bisa jauh lebih banyak ditempatkan sebagai menteri dibanding orang yang berasal dari kalangan parpol dalam pemerintahan Jokowi-JK.
Sebab, jika porsi kabinet mendatang diseimbangkan atau bahkan lebih banyak yang berasal dari kalangan parpol, maka pemerintahan Jokowi-JK nantinya hanya akan lebih nampak bagai “mumi berjalan”.
Maaf, saya merasa cocok menunjuk sebuah kabinet yang diisi seimbang (atau lebih banyak) dari kalangan parpol dengan penyebutan “Kabinet Mumi Berjalan”, karena sebagaimana umumnya diketahui bahwa hanya mumi yang bisa digerakkan oleh “kekuatan tertentu”, serta hanya ingin berbuat maksimal apabila itu sesuai dengan selera tuannya (parpolnya).
Dan apabila kabinet semacam ini yang ternyata nantinya terbangun dalam pemerintahan Jokowi-JK, maka tentulah cita-cita dari ideologi Pancasila dan Trisakti tidak akan pernah pula tercapai. Kemudian di saat bersamaan, negara dan bangsa (rakyat) ini akan lagi-lagi kembali menjadi “korban” keserakahan parpol.
Untuk menghindari “Kabinet Mumi” ini, Jokowi-JK harus konsisten dengan prinsip yang menjadi penekanannya sejak awal, yakni “Koalisi tanpa syarat” dan melakukan “Revolusi Mental”.
Revolusi mental akan sangat sulit dijalankan, bahkan mustahil untuk diwujudkan apabila Jokowi-JK tidak memulainya dari susunan kementerian dalam kabinetnya. Untuk itu, Jokowi-JK harus berani dan tegas mengubah mental atau “kebiasaan” pemerintahan baru yang kerap mendahulukan porsi kepentingan parpol koalisi dengan memberi jatah kursi menteri sebagai “bayar jasa”.
Jika Jokowi-JK benar-benar ingin mewujudkan Revolusi Mental, maka Jokowi-JK harus bisa meyakinkan masyarakat dengan tidak membentuk “Kabinet Mumi”, melainkan dengan segera memunculkan “Kabinet Trisakti” yang di dalamnya terdapat lebih banyak kalangan profesional yang berkompoten, bukan politikus, apalagi “kutu-kutu” loncat.
Jokowi-JK hendaknya bisa mengambil pelajaran dari pemerintahan sebelumnya, di mana beberapa di antaranya sangat jelas terlihat bisa mendapatkan posisi sebagai menteri dalam kabinet adalah boleh jadi dari hasil kolusi dan nepotisme.
Bisa disebut kolusi karena masing-masing parpol koalisi mendapat jatah kursi dalam kabinet, dan disebut nepotisme karena ada kursi menteri (atau jabatan lainnya) yang diisi oleh kerabat atau keluarga sang penguasa. Sehingga postur kabinet seperti ini hanya nampak bagai sekelompok “mumi” yang bekerja sebagai “alat” untuk lebih banyak mendahulukan kepentingan partainya daripada untuk rakyat.
Parahnya, para politisi yang dilibatkan dalam Kabinet Mumi itu seakan tanpa beban dan merasa tidak berdosa selalu “terpanggil” melakukan berbagai cara dan upaya untuk memperkaya diri sendiri serta kelompoknya, baik dalam bentuk korupsi maupun dengan menyelewengkan jabatannya.
Dan jauh dari itu, suasana dalam Kabinet Mumi seperti ini juga akan hanya cenderung “memaksa para penghuninya” (kalangan parpol) untuk senantiasa saling mengintai dan bahkan saling menjatuhkan satu sama lainnya. Akibatnya, bisa dipastikan “Kabinet Mumi” yang lebih banyak diisi menteri dari kalangan parpol itu pun sangat sulit mencapai kinerja maksimal dan optimal untuk kepentingan rakyat secara menyeluruh.