Dan betapa kebijakan Jokowi di bidang energi itu saat ini adalah seluruhnya dipandang berasal dari keinginan kuat JK.
“Sebenarnya yang lebih nafsu ingin menaikkan harga BBM adalah Pak Jusuf Kalla. Bahkan, pengamatan saya, beliau (JK) sudah bermanuver jauh sebelum kampanye. Ini sangat luar biasa. Dari zaman ke zaman sangat ambisius ingin mencanangkan program listrik 5.000 megawatt. Tapi belum terlaksana sampai sekarang,” tutur salah seorang anggota DPR faksi PDIP, Effendi Simbolon.
Andai saja pernyataan Effendi Simbolon itu benar, maka itu boleh dikata Presiden kita saat ini bukanlah Jokowi tetapi Jusuf Kalla. Sebab, Jokowi nampaknya lebih tunduk dan lebih menuruti apa yang dikehendaki oleh JK dibanding yang diinginkan oleh rakyat.
“Saat kampanye lalu, Pak Jokowi menyampaikan untuk mensejahterakan rakyat. Mana ada kenaikan harga BBM bisa mensejahterakan rakyat?” lontar Effendi Simbolon.
Padahal untuk mengatasi masalah subsidi energi (BBM, TDL, Elpiji) Effendi Simbolon bersama ketua DPD-RI lebih cenderung dan sepakat dengan gagasan yang ditawarkan oleh Dr. Rizal Ramli. (Baca: Ini Cara Rizal Ramli Agar Subsidi BBM Aman dan Tepat Sasaran)
Sayangnya, gagasan Rizal Ramli yang lebih pro-rakyat itu diabaikan oleh Jokowi dan lebih memilih memenuhi selera serta “perintah” JK untuk mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM.
Begitu pun dengan kebijakan menaikkan harga elpiji, publik menilai bahwa kenaikan elpiji tersebut bisa ditebak adalah kebijakan yang berasal dari kehendak JK. Sebab, jangan lupa, JK punya perusahaan “jualan” gas elpiji.
Kebijakan-kebijakan Jokowi di bidang energi itu memang dinilai sangat aneh bin ajaib, sebab di saat harga minyah mentah dan gas dunia mengalami penurunan, Jokowi malah menaikkan harganya. “Ganti saja nama elpiji menjadi eljeka,” lontar Rizal Ramli yang selama ini selalu berusaha memberi gagasan terbaik untuk kebaikan bersama, terutama untuk kepentingan rakyat kecil.
Dari situ, sangat terasa sekali bahwa Jokowi dalam mengambil dan mengeluarkan kebijakan adalah seakan hanya berdasar pada arahan dan desakan langsung dari JK. Sehingga sekali lagi, remote kekuasaan kini berada di tangan JK, bukan Jokowi.
Penilaian terhadap JK lah yang kini menjadi presiden, bukan Jokowi, juga pernah dikatakan oleh seorang pengamat komunikasi politik, Effendi Gazali.
Ia mengatakan, Indonesia tidak hanya memiliki satu presiden, tapi bahkan sampai empat presiden dalam satu tahun. Ini dikarenakan adanya pengaruh besar dibalik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).