Langkah ini tentu saja dinilai sebagai cara yang amat keliru. “Langkah Jokowi-JK mendapatkan penerimaan devisa dari utang luar negeri dalam rangka mempertahankan nilai tukar dengan menumpuk utang, jelas keliru dan cacat serta melawan nilai nilai Trisakti,” tulis Salamuddin via Broadcast BlackBerry Messenger (BBM), Jumat (16/1/2015).
Menurutnya, utang luar negeri tersebut bisa habis untuk membiayai impor pangan, impor minyak dan impor bahan baku industri. Sementara, katanya, urusan produksi dan produktivitas nasional disedot sehabis-habisnya hanya untuk membayar bunga utang.
Dikatakannya, apabila sumber keuangan nasional didukung kekayaan alam melimpah serta pasar yang sangat besar dapat dikelola dengan benar oleh bangsa Indonesia sendiri, maka tentu Indonesia tak lagi memerlukan utang, jeratan barang impor dan ketergantungan pada modal asing.
“Penguatan ekonomi nasional tidak mungkin terjadi apabila Jokowi tidak melakukan langkah sentralisasi sistem ekonomi, integrasi kelembagaan ekonomi dan konsentrasi sumber daya fiskal dan keuangan nasional prasyarat membangun fondasi ekonomi nasional,” jelas Salamuddin.
Upaya tersebut, katanya, hanya dapat dilakukan dengan mengakhiri sistem ekonomi di atas UUD amandemen yang menyebabkan kekayaan nasional, potensi keuangan nasional, segenap resources nasional terfragmentasi, dikuasai oleh kartel, sindikat dan mafia dalam kekuasaan, sehingga tidak dapat digunakan secara optimal dalam memperkuat kapasitas nasional.
Cara Presiden Jokowi mencari devisa dan menjaga nilai tukar dengan menambah tumpukan utang, menurut Salamuddin, justru akan menjadi bola salju yang akan menghempaskan Jokowi dan menjerumuskan bangsa Indonesia dalam jurang kehancuran.
“Kalau pemimpin bisanya cuma naikin harga, (juga) ngutang, nggak usah jadi pemimpinlah. Tukang Becak juga bisa?!” ujar Rizal Ramli sebagai satu-satunya Menko Perekonomian di masa Presiden Gus Dur yang pernah sukses mengurangi utang luar negeri sebesar 9 Miliar Dolar AS itu.
Menurutnya, sesungguhnya membangun bangsa Indonesia tidak mesti mengandalkan utang luar negeri. Rizal pun menunjuk Jepang dan China sebagai negara yang selama ini bisa maju dan berkembang pesat tanpa mengandalkan utang luar negeri.
Tokoh pergerakan perubahan ini pun menyebutkan, bahwa ketergantungan pada utang luar negeri bisa dikurangi secara drastis melalui berbagai langkah. Di antaranya adalah peningkatan efisiensi anggaran, perang terhadap korupsi, serta penegakan hukum tanpa tebang pilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H