Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

"Berburu" Koruptor di Atas Hukum Rimba

29 Januari 2015   13:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_348484" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Repro-desain: Abdul Muis Syam"][/caption]

MALAM tadi saat kutulis judul artikel ini, ada suara cak... cak... cak... cak secara bersamaan dari dua ekor cicak. Mendengar itu, bulu kudukku sempat berdiri, seakan kemudian saya merasa berada di dalam hutan belantara, dan terasa ada binatang buas seperti buaya, serigala, harimau, ular, dan bahkan banteng yang terusik dengan celoteh cicak tersebut.

Sebetulnya, bukan hanya malam tadi saya (dan mungkin kita semua) merasa berada di dalam hutan. Tapi ketika konflik KPK versus POLRI terjadi, maka sejak itu sepertinya kita sudah merasa negeri ini menjelma bagai hutan belantara. Apakah karena partai penguasa saat ini berlambang seekor kepala banteng? Ataukah karena pemimpin kita saat ini adalah sarjana kehutanan...??? Entahlah..???

Yang jelas konflik KPK-POLRI setidaknya telah mengindikasikan kepada kita bahwa persoalan hukum “tingkat tinggi”, terutama masalah korupsi, cenderung diseret ke ranah politik. Mengapa?

Karena sejauh ini menurut saya, sesungguhnya ranah politik kita saat ini sudah berubah wujud, yakni bisa diibaratkan sudah menjadi hutan belantara. Para penghuninya pun lebih banyak menganut hukum rimba: siapa yang berkuasa dan kuat (termasuk bermodal besar alias berkantong tebal) maka dialah pemenangnya.

Makanya tak perlu heran jika hukum kita kerap bisa dilumpuhkan oleh orang-orang berkantong tebal, dan menjadi perkasa di hadapan orang yang tak “bermodal”.

Dalam konflik KPK-POLRI, saya mencoba untuk tidak membela salah satu institusi. Saya hanya mencoba ingin mengingatkan “kesepakatan” pandangan kita bersama, yakni kita sepakat bahwa negeri ini sudah banyak dipenuhi koruptor. Sehingga tentu sangat perlu dilakukan pemberantasan korupsi.

Dan kita jangan lupa, bahwa salah satu alasan eksistensi atau dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah karena kinerja Kepolisian dan Kejaksaan di masa lalu dalam menangani masalah korupsi sangat rendah.

Bahkan dalam sebuah acara mengenai hukum di salah satu stasiun tv, mantan Ketua KPK pertama, Taufiqqurahman Ruki, menilai KPK dibentuk karena penanganan korupsi oleh Kepolisian dan Kejaksaan boleh dikata nol.

Bicara mengenai jumlah personil, KPK memang hanyalah lembaga kecil dibanding Kepolisian. Tetapi, menurut Ruki, eksistensi KPK harus sebisanya dipertahankan. “Sebab pemberantasan korupsi adalah sesuatu yang harus dilakukan kalau tidak ingin negeri ini hancur,” katanya.

Tapi mampukah KPK melakukan tugasnya sebagai pemberantas korupsi di saat masalah-masalah korupsi di negara ini lebih banyak diseret ke ranah politik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun