Perasaan suka pada seseorang pada masa kini, dengan mudah diartikan sebagai cinta. Suka pada teman, suka pada saudara, suka pada guru hingga suka pada keluarga sendiri. Tidak banyak yang mengerti jika suka, sayang, kagum, cinta hingga tertarik memiliki perbedaan tipis. Hingga di antara kelima perasaan itu bisa menyebabkan marabahaya. Mulai dari obsesi hingga nafsu. Dan itu tidaklah jauh dari bagaimana kasus-kasus di Indonesia. Seperti oknum pondok pesantren yang menikahi santrinya, berusia 16 tahun. Atau pernikahan dengan usia yang berbeda jauh, baik dari kalangan biasa hingga para artis.
Memiliki perasaan kepada mereka yang berbeda usia bukanlah larangan. Yang dilarang adalah menikah di bawah usia 19 tahun, sebagaimana undang-undang tertulis. Yang dilarang adalah memaksakan perasaan kepada orang yang dimiliki rasa. Apalagi, orang yang dimiliki rasa adalah seseorang yang telah memiliki keluarga sendiri. Mau tidak mau, yang memiliki rasa harus mundur bukan? Tapi, bagaimana jika yang dimiliki rasa dan berkeluarga itu, juga membalas perasaannya? Greget bukan?
Ini bukanlah kisah dari telinga yang penulis Terima. Ini adalah kisah yang penulis Terima melalui membaca. Membaca buku yang berjudul, Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Sudahkah kalian membacanya? Greget gak sih, saat tahu lawan tokohnya juga suka tapi memilih untuk menikah dengan orang lain? Tapi memang inilah buku, bagaimana tokoh bergerak adalah kehendak penulisnya.
Melalui buku ini, saya mengerti bagaimana makna akan cinta yang tak harus memiliki. Bagaimana ingin memiliki, jika janur kuning sudah melengkung. Jangankan janur kuning, bibit baru saja sudah ada di antara mereka. Memang bukan orang yang harus dimiliki, bukan? Tetapi, melepas bukan perkara yang mudah.
Melalui buku ini, kita belajar bagaimana rasa bersalah muncul. Seperti bagaimana tokoh Tania yang merasa bersalah pada tokoh Ratna yang begitu baik padanya. Namun di saat yang sama Tania benci padanya yang berhasil berdiri di samping Danar, orang yang disukainya. Ataupun perasaan bersalah yang dipendam sendiri. Seperti bagaimana tokoh Tania yang bermanja tak ingin jauh dari Danar setelah semua bantuan yang didapatkannya.
Kita juga belajar bagaimana rasa bersalah hingga yang dipendam sendiri mampu menjadi pijakan untuk menghukum diri kita sendiri. Seperti bagaimana tokoh Tania yang menyibukkan dirinya sendiri atas sahnya pernikahan Danar dan Tania. Di mana Tania yang dengan sengaja memberikan pekerjaan untuk dirinya sendiri adalah gambaran dari Tania yang tidak ingin lagi memikirkan cerita orang yang dicintainya.
Kemudian bagaimana Tania yang merasakan perasaan tidak suka hingga benci di saat Ratna berhasil memiliki Danar seutuhnya. Juga bagaimana tokoh Tania yang menyadari perasaan bersyukurnya yang bertemu dengan malaikat penolongnya, menjadi cinta antara perempuan dengan laki-laki. Perasaan-perasaan itu pun tidak hanya dilihat dari sisi Tania. Tapi juga dari sisi Danar.
Seperti bagaimana Danar yang memiliki rasa bersalah terpendam pada saat memilih untuk menghindari Tania. Menghindarinya karena telah membuatnya memiliki perasaan lebih antara yang ditolong dengan yang menolong. Tapi perasaan itu berkelanjutan dengan Tindakan menghukum dirinya sendiri. Di mana Danar yang tidak bersemangat hingga ragu-ragu untuk melanjutkan pernikahannya dengan Ratna.
Tapi yang sebenarnya adalah cinta Danar sudah tertuju pada Tania, meski pada saat itu ia masihlah berumur dua belas tahun. Danar yang memilih untuk tidak semakin menumbuhkan cintanya, berakhir dengan memendam cintanya selama bertahun-tahun. Tania sendiri tidak bisa mengambil langkah maju untuk cintanya di saat Danar sendiri memilih untuk tidak lagi menumbuhkan cinta padanya.
Cinta memang tidak harus memiliki. Tapi bukan berarti tidak ad acara untuk tetap bersama cinta itu. Tapi untuk di posisi Tania. Akan tidak untuk mempertahankan perasaan sayang antara kakak dengan adik yang sebenarnya adalah cinta antara laki-laki dan perempuan. Tidak mudah di posisi Danar untuk tetap menjaga perannya sebagai malaikat penolong disaat ia sudah melewati batasnya.