Mohon tunggu...
Amsal Ginting
Amsal Ginting Mohon Tunggu... -

Dokter lulusan Universitas Indonesia. Saat ini melayani melalui sebuah organisasi kemanusiaan di pulau Sumba NTT.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presidenku Jokowi: Masak Sih Bapak Pengecut dan Selemah Ini?

16 Januari 2015   04:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:03 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya senang menjadi orang Indonesia karena negeri ini adalah negeri yang paling unik di dunia. Begitu banyak hal-hal yang tidak pernah ada bahkan tidak pernah terpikirkan ada di sini.

Dahulu, dunia mungkin sudah terkagum-kagum dengan keajaiban kita; kalau hanya level menteri  atau jenderal  yang jadi tersangka bagi kita itu hal biasa. Ketua Mahkamah Konstitusi saja masuk bui!

Kehebatannya tidak hanya sampai di situ. Saat ini kita sedang kebingungan dengan fenomena di luar nalar; tersangka Koruptor dicalonkan menjadi Kapolri.

Seperti tidak masuk akal, Pak Calon Kapolri diusulkan oleh Presiden Jokowi yang katanya anti-korupsi paling tidak saat kampanye dahulu (coba tanya Slank kalau tidak percaya). Lebih tidak masuk akal kalau katanya bahwa Presiden tidak tahu bahwa Pak Calon memang punya masalah dengan korupsi (padahal sudah distabilo KPK waktu diusulkan jadi Calon Menteri).

Yang lebih tidak masuk akal lagi, kalau katanya pemilihan calon ini tidak berhubungan dengan Ibu Megawati dan tidak ada tekanan sama sekali.

Mungkin satu-satunya yang masuk akal adalah bahwa DPR tanpa “ba bi bu” menyetujui Pak Calon untuk jadi Kapolri walaupun sudah resmi menjadi tersangka. DPR memang cukup menakjubkan dari dahulu, mungkin karena mereka kekurangan akal; keputusannya memang menurut saya selalu tidak masuk akal dan hanya jago akal-akalan. Mungkin karena mereka dipilih oleh orang-orang seperti saya yang memang tidak pakai akal.

Sempat berpikir, mengapa kok DPR begitu kompak ya? KMP dan KIH bersama-sama dengan hebat bisa melupakan perbedaan dan perkelahian untuk mendukung sang tersangka. Mungkin karena kedua kubu saat ini punya musuh bersama yang mau dilenyapkan. Sadar atau tidak sadar, KPK memang cukup membuat banyak anggota DPR dan Pimpinan Partai gerah.  Di antara para anggota dewan yang terhormat dan pemimpin partai yang mulia, ada yang juga sedang  menyandang status tersangka. Sesama tersangka tentunya haruslah saling menolong.

Seperti biasanya, cerita dan analisa mengenai apa dan mengapa terjadi begitu ramai di media. Semuanya tentunya punya alasan dan argumentasinya masing-masing.

Ada yang mengatakan, presidenku adalah presiden boneka. Presiden hanyalah petugas partai yang dikontrol penuh oleh Ketua Umumnya. Termasuk dalam pemilihan Kapolri ini, calon yang diajukan hanya satu orang dari cukup banyak kandidat yang mungkin memenuhi syarat. Mengapa harus mengajukan hanya satu dan yang bermasalah?  Apakah prestasinya memang jauh lebih hebat dari  kandidat lain sehingga masalahnya dilihat dengan sebelah mata (yang tertutup pula)?

Pak Presiden pasti punya alasannya yang kami tidak tahu. Yang kami tahu adalah bahwa Beliau mantan ajudan dari Ibu Mega, dan Pak Presiden mungkin tidak cukup berani untuk menolaknya.

Argumentasi bahwa presidenku adalah presiden boneka sepertinya makin meyakinkan kalau dilihat pada keputusan sebelumnya. Tanpa mempedulikan keberatan publik, Pak Presiden mengangkat Jaksa Agung dari Partai tanpa melalui klarifikasi KPK atau PPATK.

Saat saya melihat tanggapan Pak Presiden di televisi; sepertinya juga makin membenarkan argumentasi ini. Agak kecewa juga melihat Presiden seperti melepas tanggung jawab dengan menunjukkan surat dari Kompolnas mengenai penunjukan calon Kapolri. Sepertinya kok agak takut takut ya? Sebagai pemimpin, ambil tanggung jawab. Presiden bukanlah mesin prosedural seperti tukang stempel administrasi di kelurahan atau seperti  juru bicara DPR di televisi.

Tetapi apakah memang Presidenku Jokowi selemah itu? Saya tidak yakin sepenuhnya. Mudah-mudahan  ini hanya bagian dari strategi yang sengaja dimainkan.  Proses pemilihan ini memang membuat semua topeng tertanggalkan. Saat Calon dipilih, kita tahu sikap partai yang mencalonkannya. Saat Komisi III melakukan “fit and proper test”,  kita tahu sikap setiap anggota Komisi III. Saat Jokowi menunggu sidang Pleno DPR, kita bisa lebih jelas melihat sikap fraksi-fraksi dan partai-partai.

Rakyat bisa dengan jelas melihat wakil rakyat yang mereka pilih. Mereka bisa lebih kenal partai yang mereka coblos.  Saat DPR melakukan “fit and proper test” Kapolri, rakyat juga sedang melakukan “fit and proper test” bagi anggota DPR tersebut apakah mereka cukup “fit” dan “proper” untuk dipilih pemilu mendatang atau tidak)

Menjadi sangat gamblang,  mana partai-partai  yang ingin seorang tersangka koruptor menjadi pemimpin tertinggi penjaga negara.  Saya kira betul juga, karena korupsi memang kejahatan yang luar biasa, maka pembasmi korupsi memang harus dilakukan oleh orang yang bukan hanya punya pengetahuan tetapi juga harus punya pengalaman yang cukup, paling tidak sebagai tersangka pelakunya.

Presidenku Jokowi, tunjukkanlah bahwa Bapak tidaklah pengecut atau lemah. Saya dan rakyat akan mendukung anda. Suara rakyat untuk anda jauh lebih besar dari suara partai yang mengusung anda. Anda adalah harapan dari begitu banyak orang untuk membuat bangsa ini lebih baik. Kalaupun tidak mengganti calon lain, paling tidak Bapak bisa menunda pemilihan sampai masa jabatan Kapolri sekarang berakhir (dan pada saat itu proses hukum di KPK mungkin sudah lebih jelas).

Kalau andaikan partai partai menyulitkan anda, jangan takut melepaskan diri dan keluar dari sana. Kalaupun anda seperti Ahok, saya  kok malah makin semangat untuk mendukung anda.

Bagaimana kalau KPK salah? Mungkin saja, tetapi ingatlah KPK selama ini hampir belum pernah salah.

Bagaimana kalau saya salah? Besar kemungkinan dan mohon dimaafkan, ingatlah bahwa saya menuliskan apa yang benar menurut saya yang pasti jauh lebih rendah dari kebijaksanaan Bapak. Namanya juga pendapat rakyat kebanyakan yang belum ikut “fit and proper test”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun