Angin yang Jatuh di Kepala
corak gelombang, mengitari kepala, berbentuk bulat lalu tertiup kencang seperti roda-roda bis antar kota yang enggan macet; terus saja berputar melalui peraba dan perasa, aku ikut bergeser sejauh kursor angin itu. pohon gersang, kebakaran hutan, angin itu mendarat di kepala: menggiring ingatan tentang hutan gundul sementara hujan yang lebat turut memaksa banjir bandang di tubuh
didekapnya angin itu panas, bergejolak, agak mendidih. kematian orang-orang akibat angin, yang diburu satwa hutan yang sudah mengira bahwasanya kota bergedung tinggi adalah rumahnya.
Jakarta, Kota Itu Setipis Keju
suatu saat rumah makan mewah menyajikan menu ringan: keju. tidak dilapiskan oleh roti berbentuk kubah dan hijaunya sayuran. hanya keju biasa tanpa saus atau mayo. orang-orang marah, padahal tak perlu emosi untuk meminta menu lain; mereka membayar dengan uang sejuta namun yang diperoleh hanya sebatas lima puluh ribu. mereka bilang estetik itu porsi kecil tapi tidak sekecil keju kuning mungil yang mengenaskan
kukira jakarta sudah kebal dengan tagihan restoran, namun yang kulihat hanya setipis keju dan sebesar penyakit hati
Guru di Jakarta
Aku tidak pernah mendaftarkan diri untuk menjadi guru di Jakarta; mengajar terus menerus tapi biaya ekonomi terus meningkat, mengajar terus tapi tawuran siswa jadi sindikat lokal, mengajar terus tapi adab patuh hanya sekadar pedoman belaka. sementara aku adalah guru yang tidak didaftarkan di Jakarta namun aku adalah guru yang harus berbakti pada kerasnya metropolitan.
Jakarta tidak sekeras mental guru yang ditakdirkan Tuhan untuk menjadi baja sebelum dilebur jadi abu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H