Aku tidak suka menulis berarti bukan berarti aku tidak suka mengarang cerita. Adapun itu aku sangat bahagia saat diary digitalku sudah terbit menyinari hari-hari kepenulisanku.
Yang buatku bahagia ialah bisa membagikan kisah-kisah menarik dari setiap slice of life yang timbul dalam perjalanan hidupku. dari sekian banyaknya drama kehidupan yang dikit-dikit ada romansa, atau dikit-dikit feeling lonely mungkin orang-orang kebanyakan akan merekam segala ceritanya dalam buku diary; buku yang dibilang ekonomis untuk berbagi kesedihan meski pembacanya adalah diri sendiri. Setiap orang punya cerita yang dikarang lewat kesehariannya dan memiliki daya magis untuk merakit sebuah buku baru: karena kita pada dasarnya adalah sutradara di bidang perfilman yang sungguhlah panjang. Orang-orang akan menamai filmnya berjudul 'PRIBADI' meski ada saja yang membacanya secara general.
Selama aku suka menulis di media apapun itu terkecuali aku menulisnya di kertas bekas bungkus nasi uduk, aku merasa ada saja yang tersalurkan walaupun dana finansial masih macet secara bulanan. Tapi, Kompasiana hadir membentuk wadah bagi blogger yang hendak menyajikan kisah pribadi atau keluh kesah yang dialami di tahun-tahun berat. Sebelumnya, aku sajikan rasa terima kasih kepada fasilitas Kompasiana yang sudah menyediakan blog ringan secara cuma-cuma. Karena, aku merasa Kompasiana semakin lama semakin memberikan performa terbaiknya untuk memanjakan para penulis. dari sanalah aku beralih dari tulis-menulis di buku diary yang mana kubeli dari tukang fotocopy-an yang sengaja menjajakan notes kecil, hingga aku akhirnya menulis di laman Kompasiana dimana aku bisa menyebarkan rasa bahagia juga terhadap para pembaca yang mungkin mirip dengan kisahku.
Semenjak itu kunamai Kompasiana sebagai diary digital; aku ingat dulu dimana buku diary-ku sudah penuh dengan gambaran kisah-kisah menarik, dibumbui oleh tanggalan sebagai reminder kelak bila aku membaca ulang kisah yang terpendam dalam jurang umur. Aku ingat banyak juga gambar-gambar aneh di sana, aku menyebutnya gambaran dari laju khayalku yang tidak terkendali; ada dinosaurus sedang mengejar orang, dan kereta-kereta disesaki oleh penumpang yang ingin selamat dari kejaran hewan purba itu. Mamaku bertanya, kenapa bukunya banyak gambar-gambar? dikarenakan aku masih merakit masa mudaku agar tidak terjangkit gawai, maka kujawab dengan riang hati: aku gambar karena aku hobi gambar, semisal aku nanti bisa nulis kayak orang-orang di koran nanti juga aku banyakin tulisan kok - sebegitu entengnya aku menjawab, dan seenteng itu aku bisa jadi penulis padahal menulis itu susah.Â
Aku memang tidak hobi menulis, sebab buat apa menulis toh pembacanya aja pada enggan menyimak episode kisahku. Mungkin juga pemikiranku terhadap minat baca di Indonesia membuatku jatuh bangun untuk menjadi penulis ulung layaknya buku-buku menarik yang ada di toko buku. pada awalnya, ingin sekali kuborong buku itu sengaja ingin kujadikan referensi bagaimana cara agar menulis itu bisa dibaca orang. ternyata memang benar, dari segi menulis saja aku seperti dibawa dalam kepingan allineanya, dihantarkan menuju kapal-kapal khayalan; saat itu aku sedang membaca buku cerpen terbaik milik Kompas. aku ingin sekali bisa menulis mengikuti gestur penulis menggiring pembaca menuju peta petualangan - di SMA, inilah kali pertama aku mulai mencintai dunia kepenulisan meski yang kulihat tulisanku tidak sebagus yang kuekspetasikan selama ini.
Diary kecilku hilang. entah siapa yang malingnya yang penting dia yang mengambil diaryku bisa juga mendapatkan inspirasi meski hanya untaian kata-kata yang rumit, dipenuhi oleh kode yang dimengerti olehku seorang. Pada akhirnya, aku bisa bertemu dengan Kompasiana di tahun 2018. petualangan menulisku tertuju kepada cerita-cerita pendek yang nantinya diperpanjang oleh narasi pembaca yang kerap penasaran kala membuntuti kisahnya satu per satu. dan seperti yang tidak kuyakini, betapa tulisan pertamaku yang bukan termasuk kategori terbaik namun ada saja yang membaca dan memberikan tanggapan positif untuk kelangsungan alur kisah. di cerita itu kurangkai episode prosa, karena sejatinya aku kurang tertarik pada novel yang notabene terlalu panjang untuk dirakit benang merahnya - Â kecuali sudah pandai merakit kisah sebagaimana penulis roman menenun sajak dalam aliran sastrawinya.
Sekali lagi, kuucapkan terima kasih banyak kepada diary digitalku yang sudah lahir dan memberikan dedikasi luar biasa kepada para penulis dan pemuja kata terutama banyak sekali konten keluh kesah, tips dan trik, dan apapun itu yang mampu melukiskan secuil dari slice of life. aku merasa bangga karena dipertemukan dengan para penulis impianku yang mana saat itu aku hanya berpikir bila pertemuan itu hanya sebatas lewat judul buku saja tapi mereka benar-benar lewat di guliran berandaku lalu membaca beberapa untai kisahku yang tidaklah perlu ditafsirkan secara rinci.
Penulis hebat pasti akan membaca diary digitalku, ucapku dalam hati meski terkadang hati kerap ragu untuk menyatakan perasaannya. acapkali singgah di laman teduhku dan ikut membaca meski tidak kusuguhkan kopi secara langsung namun keangatan aroma kopi itu justru terjaring dalam dimensi kisahku. Dari Kompasiana juga aku mulai mengerti ternyata banyak juga penulis yang sama-sama awam selevel denganku sehingga rasa tidak pedeku justru meronta-ronta untuk menjerit sebab aku bukanlah penulis yang hanya menulis itu-itu saja. dulu, rasa bosanku dialirkan kepada tulisan. dan tulisanku tidak serapih orang-orang para pecinta typografi. namun berkat Kompasiana aku tidak usah malu karena memang Kompasiana lahir di era digital dan membawakan nafas segar untukku, terutama pada tulisanku yang acak-adul.
Tidak perlu aku mengemis ingin dibaca tulisan karena Kompasiana sudah lebih tahu algoritma tulisan mana yang pantas dibaca olehku; aku menemukan banyak kejadian menarik dari kisah perjalanan orang-orang, dan ternyata mereka adalah orang yang justru lebih hebat dariku. di pundaknya terpanggul beban kehidupan namun ditangannya ia panggul tulisan yang hangatnya cukup memeluk badanku yang sedang diterpa angin pegunungan. aku senang sekali kehadiran Kompasiana sebagai hidangan sajian pembuka pagi dimana aku disuguhkan kisah asyik saat usai menjalankan ibadah subuh sampai nanti aku memejam mata untuk istirahat malam.Â
Kompasiana bukan sekadar diary digital, menurutku ia sungguh menawan melibatkan hal-hal unik yang terjadi dan dapat diakses secepat detik-detik waktuu itu merayap di dinding beranda.Â