Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Prosa | Ajarkan Aku Merakit Perahu Rindu

28 Oktober 2023   19:01 Diperbarui: 28 Oktober 2023   19:13 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh analog bukucu

(i)

Di suatu perempatan yang disibuki oleh teriakan rumah tangga, klakson dapur yang siap memutar sirine acapkali merambat pada pembuluh kepala. Lampu merah menyiangi para pemburu nafkah sementara orang-orang berkumpul menyanyikan dua sajak di gitarnya lalu berputar kembali usai recehan masuk ke dalam kantongnya. Jalan tak lagi sedap bila suatu saat ada saja insiden peminta-minta diam merenggut aroma sate dari kuliner pinggir jalan. Pasar malam serasa bau-bau pagi, semua lampu bak konfetti warna-warni merebak di paviliun kata. aku terjebak macet namun tidak untuk menjebak momentum saat aku mendatangi dirinya saat sepi, sendiri tanpa ada tanda-tanda pacarnya tiba.

(ii)

aku hidup di pinggiran dermaga, motor yang biasa kuhidupkan kala bensin siap meletup dalam mesin mengingatkanku pada perangai perahu layar yang sedang menyergap komplotan ikan tambak. para nelayan menjaring keringat yang sama asinnya dengan ombak di ujung laut itu. Ya, dia kuajak untuk menyantap bau kerang teritip di sepanjangan kayu perahu. dia tersenyum membentuk kurva ombak yang sangatlah cantik, dibaluri oleh gincu merah muda, dan pipinya bertambalkan bedak bayi.

(iii)

Ia bosan berselancar di aspal panas, yang riuh dengan suara yang tak diinginkan; suara pengamen, suara deru kendaraan, bahkan suara hati yang tak didengarkan oleh kekasihnya. ia hanya ingin bersantai di alas dermaga. rumput laut menjalar aneh di lilitan tambang jangkar, dan ikan-ikan berkeliling dalam arus yang membawanya kembali pada apa itu arti pulang. aku ingin di sini bersamanya meski perempuanku justru jatuh cinta pada tambatan kapal yang baru singgah, di ujung sana, mercusuar bersinar redup menembus kabut sore dan aku tetap saja menyinari matanya dengan kisah-kisah unik fauna laut.

(iv)

Aku pernah belajar melaut meski tidak sepintar para bajak laut yang sigap mati menantang badai. mataku tertuju pada tiang pengait yang bersambarkan bendera merah-putih. Ya, aku sedang di perbatasan negara dan perempuanku tiba-tiba menujuk gedung di antara kabut yang sangat tebal; itu dimana? aku jawab dengan mata yang masih tersimpan memori wajahnya yang tersimpul lucu. itu Singapura! hanya negara itu yang maju sementara cintaku masih saja belum maju akibat berkembangnya alasan-alasan apakah mungkin dia akan menolak cintaku? 

ajarkan aku merakit perahu rindu bila kamu masih menambatkan rasa sayang dalam dadaku; entak kelak kita akan bertarung dengan cuaca buruk tapi seburuk-buruknya cuaca saat kamu tidak ada perasaan apapun pada jangkar hatiku yang tidak sengaja merobek ingatanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun