(1)
Jeruji besi menghantam luka; luka bersimbah darah, raga lupa bersembah, yang diingat hanya angan saat langit masih membiru sepilu hati yang agak ngilu. sebaliknya, ia terperanjat ingin bebas meski kepalanya dibenturkan masalah takdir; takdir itu bagaikan ular, kadang menjerat, kadang menjerit, sesekali melumat habis segala daya ingat dan yang disisakan darinya hanya memori personalia.
Ketika putusan itu mencabik isi hati, terkenang sudah beberapa yang loncat dari amigdalanya; dulu sebelum ada yang namanya kenangan. kerap kali ia mencari sejuta cahaya dari matanya yang berbinar, menatap tingkah rembulan yang bersandar dalam pangkuan lazuardi, dan seakan berharap akasia akan meneduhkan segala penat di kala sore.
(2)
Ia dipenjara bersama raganya yang tegolek lemah; bukan lemah karena ditindas namun hatinya terpapar penyakit rindu yang mana susah hilang dari meja pertemuan; aku menyebutnya rendezvous.Â
Jeruji besi itu melumat habis daya memori bersamanya, mengilang bersamaan dengan lenyapnya mata ketika nanti dipanggil maju mengahadap kematian yang tertera di buku putusan hakim
(3)
Untung bukan buku amaliyah yang kuperoleh, ia disuruh merangkak dan memangku buku perbuatan dosa. ia berdoa agar nanti mati dalam keadaan riang. takdirnya berkata demikian, tapi tidak dengan amigdalanya yang kelak akan terus mengingat paras cantik perempuannya di teras rumah;
"Mau apa?"
"Mau sehidup semati bersamamu."