Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Resolusi 2019, Antara Rayakan Kembang Api atau Kembangkan Prestasi

2 Januari 2019   08:32 Diperbarui: 2 Januari 2019   09:21 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum detik-detik menuju pukul 00.00 waktu setempat, aku masih berbaring santai di perebahan. Dari penjuru ruang kamar, temanku ngobrol-ngobrol tentang rencana tahun baru nanti. Ada sekitar satu jam-an mereka tiada lelahnya ingin begini, ingin begitu; yang penting tahun baru musti meriah. Sehingga aku terbangun gara-gara bahan obrolannya memancing aku untuk ikut serta memeriahkan tahun baru. 

Aku garuk kepala, bingung, dan tak tahu harus melalang-buana kemana. Ada yang bilang, "Gausah jalan-jalan, mending beli jagung bakar aja." Semua serentak geleng kepala. Ah, sudah biasa.

Detik terus berjalan, merangkak sampai di titik dua belas. Debat kusir mereka takkan berhenti sebelum rencana dadakan itu terealisasi. Beragam argumen dimuntahkan begitu saja. Tak ada pihak kiri atau kanan, semuanya menurut koridor nafsunya masing-masing. Aku sembari menengok jam dinding, menengok lagi, menengok lagi. Memaksaku ingin berujar,

"Eh, kalau begini terus, mau sampai kapan? Mau nungguin besok? Hah, ini perayaan setahun sekali."

Aku melerai mereka dengan pertanyaan agak nyinyir. Coba bayangkan, yang satu ingin bakar jagung, yang satu ingin beli petasan, yang satu mau tiup terompet, yang satu ingin rayakan di kaffe, sementara aku ingin mereka semua diam, tidak berisik, dan usahakan omongan tadi tidak hanya berstatus "wacana".

Bodohnya, kesalahan teknis itu muncul dari mereka yang tidak menjadwalkan dari jauh-jauh hari. Uh, menyebalkan sekali; di saat yang lain ceria, tertawa riang, dan menatap langit penuh sorak-sorai, temanku tetap bersikukuh pada nafsunya sendiri padahal waktu terlalu sempit untuk mengikuti apa kata keinginan mereka semua. lalu, aku mundur dari sekongkolan wacana, pergi ke tempat tenang, buka-buka hape, sekadar intai-intai status di media sosial; barangkali lebih asyik dan seru.

Di kolom timeline story, kawan-kawanku mayoritas menampilkan layar hitam penuh tulisan ucapan atau harapan kelak tahun baru, ada yang angka 2-0-1-9, ada pula yang video kembang api saling mencuat. Satu-satu dibuka, ada sedikit buffering. Sembari menanti video terputar, aku bicara pada sebelahku;

"Kenapa ya dari tahun ke tahun kalau merayakan tahun baru pasti kembang api jadi maskot utama?"

Teman sebelahku lantas menoleh, lekat-lekat menatap cerlak wajahku, "Ya, supaya langit jadi ramai saja." Ia menghela nafas. "Kan kalau sepi, acara jadi garing, cringe."

"Emang kalau gak meriah, tahun baru bakal ditunda esoknya, lusanya, atau sampai benar-benar wah?" aku makin bertanya-tanya. Bukannya aku ingin mem-filosofi makna kembang api, tapi apa itu suatu keharusan dalam pergantian tahun? Temanku terdiam, melongo langit-langit kamar.

Pada hakikatnya, tahun baru itu hanya sekadar ganti tanggal, ganti hari, bisa juga ganti menit ataukah detik. Inilah yang membuat penjaja kalender tahunan muncul, menyebar, berserakan di kumpulan manusia demi terjualnya sampai ludes habis; itung-itung buat nambah duit. Namun, maaf aku bukanlah pengguna kalender begitu-an, aku masih pecinta kalender digital.

Seketika itu, usai aku melihat isi story kawan-kawan media sosial memuat berbagai ucapan, harapan, perayaan, atau kembang api sekalipun di tahun baru, aku tidak dengki atau merasa iri. Sebab, dari tahun ke tahun ya "gitu-gitu doang": bakar jagung, daging-dagingan, menonton pertunjukan mercon di langit, ada yang nyewa villa, atau ke tempat-tempat rekreasi. Aku sudah alami hampir semuanya. Yang belum tinggal nyewa villa soalnya butuh budget berkali lipat. Uh...

Yang aku cermati ialah status mereka perihal harapan di tahun baru, buat apa? Sementara, dari 365 hari yang dipilih hanyalah hari terakhir untuk memohon harapan hari esoknya. Aku bertanya, "Kenapa buat harapan malah di akhir tahun? Kenapa gak dari kemarin-kemarin aja? Kan, sama-sama hari esok. Yang beda cuma kalendernya aja..."

Ah, akhirnya aku berhipotesis bahwa mereka jarang mencipta harapan di hari-hari sebelumnya. Sebab, yang mereka ungkap di status ya tentang resolusi tahun baru, bukan resolusi detik baru. Bukankah suatu kejahilan yang terlalu percaya tahun baru akan mengamini doanya. Semestinya, buatlah harapan untuk detik baru, bukan hanya tahun baru, meski sah-sah saja berharap demikian di waktu-waktu tersebut.

"Ngapain aku harus ribet-ribet menyiapkan ini-itu buat kehadiran tahun baru -- yang sama sekali bukanlah tamu istimewa?" aku merasa kesal. Melihat waktu ingin beranjak beberapa detik lagi menuju pergiliran tahun, ternyata mereka hanya wacana. Hasil akhir diskusi ialah keluar rumah, nonton kembang api, dibuat status dengan caption, "Tahun baru gak-kemana-mana, hufftt... [emot sedih]" Ya, begitu-lah serba-serbi kisah yang menyedihkan; aku terharu.

Sehingga aku berpikir, "Jangan jadikan setiap detik adalah sia-sia." Memang benar adanya. Karena waktu bagaikan emas permata yang mahalnya minta ampun. Bila terlewat sekian detik saja, terbesit di akal, "Kenapa aku gak nge-lakuin ini aja ya? -- ibarat catur, merupakan salah langkah."

Lalu, aku bergegas mengobrak-abrik buku, mencari buku antologi cerpen "Lelaki yang Membelah Bulan", duduk santai dengan segelas teh manis. Tiba-tiba temanku keheranan. Menatapku penuh curiga.

"Kok, kamu buka-buka buku, kan mumpung libur?"

aku lantas merespon, "Daripada buka-buka saku, tapi gak ada uang saku, hayoo..."

kami pun tertawa serentak, menganggap obrolan receh ini sebagai pengantar tahun baru. Disana, langit mulai cetar-cetor menembakkan kembang api. Dari ujung timur sampai timur lagi bak konstelasi kembang yang menganggumkan. Aku terpana sembari baca buku.

Jadi, tahun baru adalah ajang kembangkan prestasi, tak hanya kembang api; katanya sih resolusi, kok tak sesuai ekspetasi?  Saya baca-baca buku bukan berarti aku sok pintar, tapi ingin mengembangkan bakat di bidang baca-tulis. Aku berharap, semoga detik-detik yang baru memberikan pelajaran yang baru bagiku, tak harus menanti tahun baru tiba, apa salahnya kita ganti kembang api dengan kembangkan pretasi. Ya, mendadak temanku bertanya;

"Kalau seperti tukang petasan, gimana? Kan sehari-harinya bareng kembang api terus."

"Eh, tapi tukang petasan itu prestasinya emang ngejual kembang api. Lah kamu, ngeliatin doang, dapet duit kagak. Hahaha..." kami tertawa lepas, selepas kembang api yang diluncurkan.

Bandung, 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun