ATAS segala syukur matamu, pipimu, lesungmu, hidung mancungmu di kala malam kian menyurut hening. Ya, aku tiba di asrama dengan dirimu yang sedang asmara;
"Aku ingin meng-asramakan dirimu di ranah komplek hatiku."
"Ah! Komplek katamu? Sudah berapa rumah saja yang dibangun persis di hatimu?"
"O, maksudku meng-asmarakan hatimu, itu saja."
Jujur, waktu itu bibirku terasa susah menyebutkan mana yang asmara dan asrama; hanya dibalik, tapi sudah beda makna. Lidahku kelu, beku, terasa kaku untuk menyatakan mana yang kamu dan mana yang aku yang tengah bersamamu.
"Asma-ra di Asra-ma. Ah, susah sekali sih nyebutnya..."
"O, kau ingin bercinta?"
"Tidak, aku hanya ingin berce-rita bukan bercin-ta."
Malam di tengah zodiak Taurus, penuh bintang bercak-bercak di pucuk rambut kekasihku. Aku merasa riang ia bisa mengerti lidahku; meski ragu tapi terus saja melaju.
Ceritaku sudah berlanjut berjam-jam, berdua dengan hati yang terisi dialog-dialog menyenangkan di tiap sesi anekdotnya. Tawamu, wahai kekasih; aku ingat sekali ketika kita berjemur saat kita di-setrap oleh guru biologi. Hari itu, kita tidak tahu apa itu materi reproduksi.
Jawabku,"Oh, Asmara di Asrama!"
Sstt.. guru itu tambah marah, sedangkan kita tetap saja bersuara riang dan tanpa jenuh membicarakan asmara-asmara di asrama itu, tepat di lapangan sekolah; kita menjalani hukuman setrap dengan bergembira.
Aku ingin selalu begitu, kekasih. Seperti saat ini, kita duduk di kursi taman penuh bunga. Kita selonjorkan kaki-kaki yang hendak bercinta, tapi malah bercerita.
Oh senangnya...
Bandung di tanggal muda, 2019