...Lanjutan dari bagian satu;
Aku akhirnya kembali dipenjarakan gelap, klise kepekatan yang membawa semua jadi gulita. Menyeruak bak remah tinta di malam hari. Setelah kepergian matahari, aku sendiri menerawang langit. Katanya, akan ada bulan. Namun, dimana kini ia berada? Awan yang kuning-keabu-abuan kini menjelma duka. Aku serasa masih terjebak di dunia imajinasi. Bercak gelisah timbul bagai konfetti di pelataran langit membentuk gugus bintang. Apakah musti menanti gelap? Ataukah bulan sedang absen dan berhalangan tuk muncul? Aku diam lagi di ujung barat.
Dengan ditemani secarik kertas, pepatah matahari benar adanya. Bahwa seseorang tak musti menuruti apa kata khayal. Ia lebih memprioritaskan petuah hati. Selama ia ber-rotasi, yang dipikirkannya hanya mematuhi kodrat. Ya, ia tak ingin berlama-lama duduk di kursi langit. Meskipun ia kuat dan besar, ia tetap tegar dalam penantian masa; masalah ajal, ia tak ikut campur urusan ketuhanan.
Kata per kata telah tertulis rapih. Pena mengoles-oles tintanya. Sementara aku, masih butuh belajar merenung. Untuk apa kita berkarya? Sedangkan matahari menafikan karya sebagai alat keabadian. Memang benar, karya matahari lebih banyak kontribusinya. Namun, tetap tidak melekat pada dirinya sebagai sosok yang abadi. Ia tetap jatuh, merebah, tertimbun puing-puing keresahan. Siang yang terik bukankah itu karya matahari? Ya, ketika senja mendarat di lembayung bukan menjadi alasan untuk tidak bangkit esok harinya, tapi ketegarannya membuat timur memanggilnya kembali.
Semua orang ingin berkarya, berkontribusi layaknya matahari. Namun, tidak sedikit pula orang berduyun-duyun agar terus abadi. Mencipta karya sudah meleburi bagian jasadnya. Lalu, aku bertanya ulang, untuk apa kita berkarya? -- sebagaimana matahari berucap: carilah jati diri!
Aku adalah penulis amatir -- belum sejati betul. Bilamana ada yang bertanya ihwal pengalaman menulisku, katakan padanya aku sedang belajar pada gejala alam. Entah itu matahari, bulan, rasi bintang, mereka telah mengajariku pelan-pelan; usai aku menyusuri hutan imajinasi yang penuh jejak terjal. Aku merasa belajar menulis itu sudah merasuk pada sukma, lalu berkembang di alam jati diri. Bukan semena-mena lewat karya kemudian aku kekal; aku mengerti matahari. Setidaknya ia adalah bahan inspirasi bagi manusia, khususnya bagi penggemar tulis-menulis.
Beberapa menit kemudian, bulan dengan merona nampak anggun di pertengahan isya. Bulat yang memendarkan cahaya redup nan tentram. Tidak panas ataupun gerah, ia muncul merintikkan noktah ketenangan. Aku lihat dia bersimpuh di labirin kota malam, bermain-main dengan jemari lentiknya, pendaran itu mengikuti sumbu utamanya. Aku pun bergegas menuju bulan yang tengah nganggur. Sembari membawa kertas serta pena, barangkali saja ia ingin menginspirasiku dalam menulis.
"Bulan, adakah dikau sedang menganggur?"
"Maaf,kamu bertanya pada orang yang salah..."
"Lalu, sedang apa kau duduk-duduk santai disini?"
"O, aku sedang menidurkan orang-orang bumi, aku tahu dia lelah setelah siang terus berpijar."