Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Perjalanan Menulis (1): Bermula dari Imajinasi, Berakhir di Wacana

31 Desember 2018   03:45 Diperbarui: 31 Desember 2018   17:59 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang sedang kubutuhkan detik ini adalah bagaimana aku bisa bermanfaat di detik-detik kemudian. ketika banyak tulisan terketik rapih, ketika ide telah tertuang di buku harian, tinggal aku diam. Merenungi betul apa yang kutulis. Teliti. 

Tidak muluk-muluk dengan isi serta pesan tersiratnya. Aku butuh kesimpulan; saat ruah-ruah manusia ingin membaca dan merenungi pelan-pelan. Di sana, orang terkesima dan penasaran akan perjalanan tulisanku: ihwal cerpen dan prosa-prosa istimewa.

Memang, menulis tidak semudah membaca. Pengalamanku perihal tulisan bak melewati tebing liar, juntai sulur tanaman berduri, kadang hindar-hindar kubangan bau racun. Ya, ada hewan buas siap menerkam. Di rundung malam gulita, hanya ada gugus bintang yang bersinar teduh. Selama aku terjebak di hutan imajinasi, aku tuturi gerik bintang itu ber-rotasi menuju fajar. Meski malam mengundang kejahatan, mata-mata dengki mengintai dari rimbun semak, diam-diam menyerangku dalam senyap; aku tetap siaga.

 Bintang di ujung sana begitu cemerlang. Rasi menjalar dan memberi formasi cahaya yang beruntun. Aku keluar endap-endap, menyusuri jalur nan gelap. Hitam. Bau tidak sedap berputar-putar di rongga hidung. Ah, inikah sukarnya menulis? Sehingga kelak bintang itu hilang meredupkan pijarnya, aku bertemu oleh matahari. Di timur, ada dialog kecil antara aku dan cakrawala subuh;

"Hidupmu untuk menulis, bukan?"

"Menulis itu untuk hidup, lebih tepatnya mengacu pada keabadian." Kataku, usai mengutip cuplikan bijak seorang Pramoedya A. Toer, aku mengela nafas.

"O, mungkin kamu harus belajar lagi." Matahari mematahkan argumenku, "Masih banyak kekurangan yang kamu ucapkan, Nak."

"Ya, jikalau aku menghasilkan karya itu baru saja aku memperpanjang umur." Lagi-lagi aku merujuk pada Helvy Tiana Rosa, aku mulai deg-degan bila matahari tetap teguh argumen.

"Haha,, kamu hidup berjibaku dengan tulisan? Kamu setarakan sebuah karya sebagai alat memperpanjang umur? Kamu benar-benar ingin abadi? Sudahlah Nak, kamu sudah dewasa dan carilah jati diri sebenarnya." Matahari tergelak tawa, meluapkan omongan tiada putusnya. Aku bengong agak lama, merenungi pelan-pelan.

Pematang timur telah berangsur naik menuju duha. Matahari pelan-pelan merangkak. Awan terserak manja. Menatap bongkah sejuk embun yang memanas. Diriku memang ingin menulis. Hanya satu-satunya upaya agar aku tetap teguh berkarir dalam pelarian yang bersifat fana. 

Usai aku mendengar satu-satu nasihat matahari, ada yang perlu ditulis di buku catatan: Jadilah diri sendiri! Ya, hanya itu dari sekian runtutnya bincang dini hari. Aku perhatikan kembali tingkah matahari; tetap pada porosnya, memenuhi kodrat alam demi keseimbangan terjaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun