Kembali layar berita diisi dengan gambar dan tulisan sosok dengan keteladanan. Kali ini dari Bapak Jokowi, Walikota Surakarta yang telah menjadikan Solo menjadi kota yang penuh spirit ini kembali menghiasi media. Awal saya “berkenalan” dengan tokoh yang satu ini melalui sebuah majalah musik yang membahas sang walikota yang penuh kesahajaan, teladan, merakyat, serta rock n roll. Ya, cukup mengagetkan karena bukan sekedar basa-basi beliau mencintai rock n roll. Menonton konser rock di Jakarta sendirian tanpa ajudan tentunya cukup menjado contoh ekstrim yang baru-baru ini beliau lakoni. Kemarin, Pak Wali kembali membuat berita. Setelah sebelumnya menolak mengganti mobil dinas lamanya, kini beliau akhirnya mau menjajal “kemewahan” jabatannya, tentunya dengan caranya yang khas. Beliau bersama sang wakil walikota bersedia mengganti mobil dinasnya dengan mobil rakitan siswa SMK di Surakarta yang komponennya sudah 80% lokal. Sebagai alumnus SMK, saya turut berbangga dan kembali tersentuh dengan aksi beliau ini. Dari tampilan terbatas yang kita semua bisa lihat di media, angkutan pak Walikota dengan tipe SUV ini tak jauh dari tampilan mobil-mobil branded yang beredar dewasa ini. Yang kemudian menjadi pemicu saya menulis adalah pernyataan beliau bahwa apabila mobil ini diproduksi massal harga jualnya berkisar Rp 95 juta-an. Sebuah angka yang dalam konteks dan momentum ekonomi Indonesia sekarang ini menjadikan mobil ini sangat terjangkau oleh banyak kalangan. Lantas, kenapa tidak menjadikan mobil Kiat Esemka ini menjadi mobil nasional? Tentu kita pernah mendengar mimpi ini, mimpi untuk tidak hanya menjadi bangsa konsumen namun juga produsen di dunia otomotif. Bukankah kita punya sumber daya, dan bukankah lebih dari cukup bagi para produsen kita untuk mempelajari teknologi yang dibutuhkan dalam mewujudkan mimpi ini. Terlebih lagi kita punya pangsa pasar sendiri yang sangat sexy – mengutip beberapa pengamat investasi. Mungkin benar cerita teman saya dari negeri seberang, bahwa yang kurang dari kita adalah kebersediaan kolektif untuk mewujudkannya. Apakah kita tidak malu pada tetangga sebelah yang dulu untuk bercocok tanam saja belajar kepada kita, kemudian sekarang mereka telah memiliki mobil nasional ? Saya pernah mendengar bahwa awalnya pun, mobil mereka jauh dari sempurna, banyak kelemahan dan sebagainya, namun karena ada kebersediaan kolektif untuk menggunakan mobil tersebut sehingga mampu berkembang setelahnya. Tidak seperti cerita mobil Timor bukan ? Kini, dengan momentum pak Jokowi, bukankah sangat masuk akal kalau kemudian bisa ditindaklanjuti dengan keteladanan pimpinan daerah lain untuk melakukan hal yang sama. Paling tidak, dengan sedikit “paksaan” ketentuan bahwa pejabat seperti beliau menggunakan mobil dinas serupa, tentu akan dapat dimulai produksi mobil nasional tersebut secara massal. Bukankah optimisme bangsa ini sedang meruah ketika para pemimpinnya mulai memimpin dengan teladan. Saya rasa masih banyak sebenarnya teladan lain yang cukup untuk menghidupkan kebersediaan kolektif kita sebagai bangsa dalam segala bidang. Hanya saja terkadang monitor berita kita terlalu sesak oleh kabar galau. Ya, bad news is still a good news in our beloved country. ~amrunofhart~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H