Mohon tunggu...
Hartanto Amrunofhart
Hartanto Amrunofhart Mohon Tunggu... profesional -

Pembelajar ekonomi syari'ah | 083872230003 | Twitter @amrunofhart

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gubug di Tengah Kota

28 Desember 2011   02:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:40 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_152201" align="alignleft" width="300" caption=""][/caption]Mungkin tak ada kompetensi mendalam untuk saya menulis mengenai properti, tidak sama sekali. Makanya agak ragu juga awalnya, namun setelah dipikir-pikir..bukankah lebih banyak pembeli properti itu tidak mengerti properti secara mendalam? Makanya, coretan saya kali ini sekedar sharing tentang pengalaman membeli hunian, beserta sekelumit suka-dukanya. Rejeki / Jodoh Mungkin sudah jadi rahasia umum bahwa membeli rumah, adalah sama peliknya dengan mencari jodoh atau mencari pekerjaan. Misalnya, tidak setiap rumah yang kita minati sesuai dengan kemampuan daya beli kita. Atau lebih mengenaskan lagi, rumah yang kita minati dan sesuai dengan daya beli kita sudah terlanjur lebih dahulu dibeli oleh pembeli yang lain. Pengalaman pribadi kami, mencari gambaran rumah yang sesuai kami agendakan jauh sebelum daya beli itu muncul. Setidaknya hal itu selain menjadi motivasi juga menjadi pemanasan, agar kita lebih bisa mengukur dan menimbang betapa berlikunya perjalanan mendapatkan hunian. Dari awal tahun 2010 kami mulai pencarian itu, dan baru di perempat akhir 2011 ini kami mendapatkan apa yang kemudian menjadi istana kami. Jadi, untuk pembaca semua yg masih dalam fase tersebut, nikmati saja pencarian hunian sebagai bagian dari ‘ibadah. Investasi Lingkungan Bentuk rumah boleh berubah, modern minimalis, etnik, atau bahkan rumah futuristik sekalipun. Semua bentuk tadi hampir selalu fleksibel terhadap jaman, atau boleh dikatakan trend, tapi tidak pernah berkorelasi langsung dengan lokasi. Inilah yang kemudian menjadi tonggak pertimbangan kami, di lingkungan seperti apa kami ingin tinggal. Maklum saja, bagi kami yang belum berpendapatan berkelimpahan, membeli rumah bukan rencana 10 tahun sekali. Bahkan mungkin ekstrim-nya kami mengandaikan ini adalah rumah terakhir kami. Dari itulah kemudian muncul berbagai pertimbangan dan diskusi kami sebagai pasangan, mulai dari akses ke tempat kerja agar dampaknya menambah kuantitas dan kualitas waktu saat di rumah; akses kepada area publik;akses kepada tempat belajar anak kami kelak;kualitas lingkungan berupa keamanan, kenyamanan, kebersamaan,dll. Beruntung kami “ditempatkan” oleh NYA untuk merantau di kota yang belum begitu padat ini. Sehingga meski perkembangan dan pembangunan kota tidak terelakkan, namun masih bisa kami dapati sebuah blok di jantung kota yang bukan perumahan dari pengembang tertentu (artinya masih kampung dg segenap guyub dan kebersamaannya), yang masih rindang, masih penuh dengan kenyamanan khas pedesaan. Masjid di jalan sebelah, lima menit dari kantor dg sepeda motor, lima menit dari pusat perbelanjaan terbesar di kota yang sedang berkembang ini, tujuh menit memutar menuju pasar tradisional, lingkungan asri bertetangga yang kami bilang masih “njawani”. Sungguh sebuah berkah tak terbilang harganya bagi kami. Budget dan Pembiayaan Setelah itu semua, yang menjadi penggerak terlaksananya rencana pembelian hunian tentu adalah bagaimana kita berencana membelinya. Secara tunai, atau cicilan. Untuk pembelian secara tunai, rasanya kurang seru kalau di-share disini , disamping memang bukan itu yang mampu kami lakukan. Untuk pembelian terbesar kami semenjak menikah, tentu bukan hal yang mudah untuk memutuskan. Kalau kami paksakan untuk menabung terlebih dahulu, rasanya hasil tidak akan terpenuhi harga rumah impian kami, belum lagi kenaikannya yang membumbung jauh melebihi peningkatan saldo tabungan kami . Alhasil, kami putuskan untuk sekedar mengejar porsi pembiayaan pribadi yang tidak ditanggung oleh bank. Kami memutuskan untuk menggunakan pembiayaan syariah, disamping akadnya yang melegakan karena telah ada kesepakatan margin yang jelas dan tidak terpengaruh kenaikan suku bunga, kami juga merasa lebih lega untuk menyerahkan transaksi terbesar kami pada prinsip yang kami yakini lebih halal. Sekali lagi, itu semua pilihan. Tentunya dengan tanpa mengesampingkan hitungan rasio kemampuan keuangan keluarga kami untuk memenuhi cicilannya, sehingga kami tetap bisa merencanakan pendidikan terbaik untuk si kecil, juga tak luput untuk tetap menabung agar kami tetap bisa mensyukuri setiap rizqi yang kami diberi kepercayaan oleh-NYA. Disamping itu, kami sadar bahwa memiliki rumah juga tak ubahnya memiliki kendaraan pribadi, membutuhkan perawatan di setiap bulannya. Belum lagi jika kami ingin merenovasi kelak, kamar harus kami tambah - misalnya, tentu juga harus kami perhitungkan di awal. Tapi setidaknya, kami sudah berada di gubug idaman kami, di tengah lingkungan yang tak bisa kami beli, di sebuah lokasi yang terlalu rumit untuk kami pindahkan. Hutang Bulanan, Bukan Belasan Tahun Pada saat akad pembiayaan telah disepakati dan kunci istana kami telah kami terima, perasaan membuncah tak terkira meliputi hati kami. Norak kan? Maklum, kami pasangan muda yang beberapa tahun lalu baru mampu mengimpikan memiliki rumah dan sekarang kesampaian. Tapi, mendadak istri saya agak murung, kemudian dia bergumam: apakah tidur kita akan nyenyak 15 tahun mendatang ? Lebih norak lagi mungkin, tapi inilah faktanya: tidak mudah bagi golongan belum berkelimpahan seperti kami untuk menanggung hutang belasan tahun. Entah dari mana saya dapat bisikan; tenang, hutang kita bukan 15 tahun mendatang sebesar ratusan juta....tapi hutang kita hanya bulan ini sebesar tidak lebih dari 33% total pendapatan bulanan kita...bulan depan ? Kita serahkan pada-NYA. Demikian sharing dari kami, semoga mampu menjadi bahan diskusi yang bermanfa’at, karena hanya itulah niat sederhana kami sebelum menuliskannya. ~amrunofhart~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun