Mohon tunggu...
amrullah ali moebin
amrullah ali moebin Mohon Tunggu... -

semua proses hidup dinikmati dengan perjuangan,.,.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengagas Desa Ilmu

26 Juli 2014   19:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:06 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membicarakan ilmu pengetahuan bagi sebagian orang dianggap menarik. Tapi, ada juga yang merasa membincang ilmu itu sangat berat dan membosankan.

Tapi berbeda jika sekerumunan orang membahas tentang uang hingga kekuasaan. Seolah tidak ada jeda untuk berhenti membahas itu semua.

Ya, satu sama lain akan saling menimpali tentang bahasan uang dan kekuasan. Asik sekali memang jika membincang kedua ‘benda’ itu. Tapi, bagaimana dengan ilmu?

Ilmu pengetahuan nasibnya sungguhnelangsa. Ia hanya diperbincangkan dalam sekat-sekat gedung. Dibatasi oleh waktu. Seolah tidak bebas seperti seekor burung yang terbang.

Bahkan, pencari ilmupun merasa terkekang dengan sejumlah aturan yang disajikan untuk mendapatkan ilmu. Betapa tidak, ukuran orang memahami ilmu hanya dinilai dengan angka. Jika angka itu merah. Maka, merah pula watak orang itu. Aneh kan?

Seminggu yang lalu saya bertemu dengan kawan dekat di Surabaya. Dia baru saja pulang dari Sumatera dalam sebuah kegiatan. Sesampai di Surabaya dia menyempatkan mampir ke kampung ilmu. Itu sebuah kawasan bagi orang untuk berburu buku.

Tidak cukup toko buku saja. Disana juga ada kantin yang menyediakan jajanan dan minuman. Tempat membaca yang nyaman. Selain itu, meski ditengah bisingnya kota pahlawan, kampung ilmu masih menyajikan nuansa yang hijau.

Ditempat itu, berbagai aktivitas dilakukan. Mulai dari membaca buku hingga berdiskusi tentang ilmu pengetahuan. Ya, ilmu seolah mudah diserap dalam suasana seperti itu.

Mungkin akan memaklumi jika di kota yang berdiri kampus-kampus elit ini sewajarnya ada lokasi seperti kampung ilmu.

Bukan bermaksud membandingkan. Di wilayah persebaran Jawa Pos Radar Bojonegoro (Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Blora) tidak mudah untuk menemukanruang-ruang seperti itu.

Di lingkungan universitas pun atmosfir diskusi tak begitu terasa. Meski ada, hanya beberapa beberapa gelintir mahasiswa yang ikut dalam forum-forum ilmiah itu.

Nah, kondisi ini berbeda dengan kawasan-kawasan yang lain. Mislanya, di Tuban ada kawasan Industri. Dikawasan itu, miliyaran rupiah anggaran dikeluarkan untuk menarik investor agar tertarik berebut.

Bisa dilihat berasama, dibeberapa daerah di Tuban berdiri megah pabrik-pabrik semen. Bahkan, ada satu pabrik semen baru yang menargetkan untuk membangunan pabrik di Tuban meski masih dalam tahap proses. Sumber minyak bumi pun perlahan mulai ditemuka, meski juga masih nunggu kepastian untuk dilakukan produksi.

Di Bojonegoro tak kalah hebat. Beberapa kecamatan menjadi titik untuk kegiatan ekplorasi minyak bumi. Bahkan, pontensi minyak di kota ledre ini bisa menopang kebutuhan nasional. Lamongan pun sama. Lokasi-lokasi industri juga semakin tumbuh.Sedangkan, Blora dengan Kecamatan Cepu-nya bisa mengahasilkan pundi-pundi rupiah.

Bukan hanya ada kawasan industri. Tapi, kawasan wisata di masing-masing kota itu juga menjadi pusat perhatian pemerintah setempat. Bahkan, Tuban sudah terus mematangkan desa wisata yang ada di Kecamatan Kerek.

Lamongan dengan wisata baharinya mampu memikat orang luar daerah untuk berkunjung ke kota soto itu.

Nah, pembaca bisa membandingkan bagaimana dengan ilmu pengetahuan bagi generasi mudanya di kota-kota tersebut.

Saya jadi berfikir. Sekolah, pondok pesantren, dan universitas tidak cukup untuk menopang menjadi semua kawasan ilmu pengetahuan. Saya sengaja tidak menyebutnya menjadi kawasan pendidikan. Sebab, istilah pendidikan akan membuat orang akan berfikir tentang biaya pendidikan.

Untuk itu, saya membayangkan di kota-kota ini ada sebuah desa kawasan ilmu. Sekali lagi bukan berarti kecamatan atau desa yang banyak sekolah bisa menjadi ukuran desa ilmu.

Dalam bayangan saya, di desa tersebut tersedia pilihan ilmu pengetahuan. Misalnya, salah satu desa itu tersedia berbagai macam pos-pos keilmuan. Jika ada yang membutuhkan ilmu bahasa ada salah satu dusun yang menyediakan berbagai kursusan tentang skil bahasa asing.

Di dusun yang menyediakan keilmuan teknologi. Artinya, jika ada orang yang ingin belajar teknologi bisa belajar di dusun itu. Bahkan, jika perlu ada dusun yang memfokuskan keilmuan penelitian.

Tapi, prinsipnnya desa tersebut tidak melawan budaya di desa setempat. Dengan begitu, masyarakat bisa tetap nyaman tinggal di desa tersebut. Perlahan, masyarakat desa akan tertular dengan ilmu-ilmu baru.

Jika perlu, desa ilmu bisa mengembangkan pontesi yang ada di desa tersebut. Misalnya, jika ada desa yang dekat dengan pabrik semen. Setidaknya, keilmuan teknis tentang kebutuhan pekerjaan yang ada di perusahaan tersebut.

Bagi pembaca ini mungkin ide gila atau bahkan tidak mungkin terjadi. Pasti persoalannya siapa yang akan menjadi relawan untuk menjadi tentor?

Memang tidak gampang untuk mencari relawan yang siap bertempur di desa untuk menjadikan desa tersebut menjadi desa ilmu. Serta membangun infrastrukturnya.

Putra daerah yang memiliki kompetensi bisa menjadi awal perintis desa ilmu. Selain itu, bagi pemimpin-pemimpin daerah tersebut yang cinta pada ilmu pengetahuan. Yang jelas, desa ilmu tidak hanya sebuah pencitraan saja. Tapi, ini adalah bentuk komitmen untuk membangun peradaan dari pedesaan.

Jika ini terealsasi, bukan tidak mungkinmbangun negoro soko deso bisa terjadi. Semoga. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun