Jokowi dianggap merangkul dengan cara yang lebih halus, tidak membalas dengan kritik, atau bahkan marah-marah seperti tempo hari di hadapan para menteri. Jokowi memilih memberi penghargaan kepada keduanya.
Adagium politik, tak ada kawan abadi dan tak ada musuh abadi itulah potret, bagaimana realitas politik dalam segala tingkatan.
Seperti dikatakan oleh Mantan Perdana Menteri Inggris Lord Palmerston yakni "We have no eternal allies, and we have no perpetual enemies. Our interests are eternal and perpetual, and those interests it is our duty to follow".
Tidak ada teman atau musuh abadi dalam politik. Yang ada kepentingan abadi. Mereka yang ingin abadi dalam dunia politik dituntut fleksibel dalam mengikuti jalan kepentingan abadi''. (dikutip dari telisik.id)
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap gerak-gerik politikus pasti ada tujuan dan maksud yang tersembunyi. Terlepas ketika Gerindra sudah bergabung ke tubuh pemerintahan Jokowi tapi Fadli Zon tetap dengan karakternya yaitu menjadi 'petugas kritik' Istana atas segala problemanya dan Fahri Hamzah dengan partai barunya Gelora.Â
Pemberian Bintang Mahaputera Nararya kepada keduanya bisa jadi sebagai upaya mempertahankan citra Jokowi sendiri yang dulu sering diidentikkan dengan "Politik Jawa" dengan adagium yang mungkin kita sering dengar yaitu: "Lamun siro sekti, ojo mateni; Lamun siro banter, ojo ndhisiki; Lamun siro pinter, ojo minteri."
Artinya, meskipun kamu sakti/kuat, jangan menjatuhkan; meskipun kamu cepat, jangan mendahului; meskipun kamu pintar, jangan sok pintar".
Fadli dan Fahri seharusnya jangan senang dulu melihat hal ini. Bisa jadi penghargaan ini sebagai wujud istidraj, dalam konteks seakan-akan diberi penghargaan tetapi sejatinya sedang "dipermalukan". Mudah-mudahan ini hanya dugaan saja.