Mohon tunggu...
AMRUL HAQQ
AMRUL HAQQ Mohon Tunggu... Seniman - Pendiri Media GelitikPolitik.com

Amrul Haqq merupakan penulis buku dan pendiri sekaligus pemimpin redaksi media online berbasis politik bernama GelitikPolitik.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Langkah Politik Putra Mahkota Istana

26 Juli 2020   14:33 Diperbarui: 26 Juli 2020   18:45 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Politik memang dinamis, pagi bilang kacang kedelai sore bilang tempe. Adalah mafhum jika sesuatu yang dinamis itu kadang kita anggap sebagai sebuah kebohongan atau bahasa yang lebih halus lagi adalah 'mencla-mencle'.

Mengikuti kompetisi untuk merebut kursi kekuasaan memang hak semua warganegara dan hal itu diatur undang-undang, titik persoalannya adalah 'aji mumpung' yang menjadi perdebatan dikalangan masyarakat. Terlebih pernyataan presiden bahwa tidak akan mengajak keluarganya terjun dalam politik kala itu yang sudah tertanam kuat dalam ingatan publik. 

Dalam psikologi politik, kita tentu tidak asing dengan istilah yang dikenal dengan "coat-tail effect". Jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia jadi "pengaruh ekor-jas". Efek ekor jas dapat dimaknai sebagai pengaruh figur atau tokoh dalam meningkatkan suara partai di pemilu. 

Mungkin terlalu liar jika kita kaitkan majunya Gibran dan (mungkin kemenangannya) nanti merebut kursi Surakarta 1 yang notabene adalah jejak kursi sang ayah yang kini duduk di RI 1 ada relevansinya dengan efek ekor jas, karena biasanya EEJ atau efek ekor jas lebih relevan terkait pemilu presiden dan dampak popularitas serta elektabilitas terhadap parpol yang mengusungnya. 

Aspek popularitas yang menjadi hal yang berpengaruh menjadi hal yang sangat penting dan jika melihat efek ekor jas dari sisi berbeda, secara popularitas, siapa yang tidak kenal dengan presiden dan keluarganya? 

Terlebih Gibran Rakabuming Raka sang putra sulung presiden, pemanfaatan figur seperti orang tua, figur pendiri partai dan figur lain yang mampu mendongkrak popularitas sudah sering kita jumpai baik dalam pilkada, pileg maupun pilpres. 

Gibran yang baru daftar menjadi kader PDIP 23 September 2019 ketika ia baru ramai akan diangkat untuk menjadi cawalkot, padahal tentu kita tahu, PDIP merupakan partai kader dan diketahui memiliki peraturan minimal 3 tahun menjadi kader agar bisa maju menjadi calon kepala daerah. Riuh politik Solo kian memanas setelah Gibran mampu menyalip tokoh PDIP Solo dan goalnya mendapat rekomendasi dari DPP PDIP. 

Masa Depan Surakarta 

Popularitas saja tidak cukup jika belum memiliki jam terbang yang mumpuni, langkah buru-buru ini akan menjadi preseden buruk terhadap dinamika politik daerah apalagi kalau sampai hal ini merupakan persiapan 2024 atau minimal persiapan untuk Jateng. 

Sudah barang tentu warga Solo tidak mau dijadikan sample kinerja atau hanya sekedar batu loncatan  Gibran untuk langkah yang lebih jauh, profesionalitas figur juga penting untuk kemajuan Solo itu sendiri, terlepas siapa walikotanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun