Pertama adalah membungkus diriku dengan kain kafan. Tidak harus sampai berbentuk pocong. Cukup dibungkus seperti selimut. Di depanku aku taruh kayu dan akar pohon beringin.
Aku mulai membaca mantra. Aku menghafal matra itu sampai hafal betul-betul. Kalau aku salah membaca mantra, maka habislah nyawaku.
Angin tiba-tiba kencang. Padahal hari ini sangat cerah. Tapi tiba-tiba saja kencang. Senter yang aku gunakan untuk penerangan tiba-tiba mati. Dan kain kafanku seperti ditarik oleh seseorang.
“Kembalilah, kembalilah, kembalilah,” itulah yang aku dengar. Suara orang merintih menyuruhku kembali.
Aku telah membulatkan tekadku. Aku akan melihat yang sebenarnya.
“Aku bilang kembali!” tiba-tiba saja suara itu yang awalnya seperti merintih kini membentak. Dan dalam sekejab aku melihat wajah mengerikan. Wajahnya telah menyatu dengan tanah. Matanya? Matanya tidak ada, hanyalah tengkorak kosong.
Aku langsung gemetar tapi sebisa mungkin aku tahan. Karena pada tahap ini menurut yang aku baca adalah ujian. Kalau gagal dalam ujian ini, maka selamanya akan dihantui.
Tiba-tiba saja di hadapanku muncul rambut panjang hitam. aku menelan ludahku. Aku tidak boleh menatap ke atas! Aku tidak boleh menatap ke atas.
Punggungku seperti dipegang oleh seseorang. Aku merasa menggigil. Instingku mengatakan kalau aku sebaiknya lari saja.
“Kembalilah!” tiba-tiba saja hantu tadi yang matanya bolong muncul secara tiba-tiba di depan wajahku. Jantungku berdetak sangat cepat.
Lima menit proses ujian dan itu serasa lima jam. Setelah lima menit kemudian, tidak ada lagi yang menggangguku.