Mohon tunggu...
Amrullah Amru
Amrullah Amru Mohon Tunggu... -

Akh..bagiku yg penting lega bisa bersuara....\r\n

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Cermin Retak Perdamaian

6 Agustus 2011   21:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:02 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

BERKACA KE BUMI PALESTINA

“Perdamaian-perdamaian, banyak yang cinta damai, tapi perang ramai,

bingung-bingung ku memikirnya…..”

Sepenggal kalimat di atas boleh jadi hanyalah bait-bait lagu Qosidah yang pernah populer oleh Nasida Ria di era 80-an. Tetapi, kekhawatiran, kecemasan dan harapan dari lirik-lirik di atas, rupanya tetap relevan dan tak luput dilekang zaman. Apalagi akhir-akhir ini dunia semakin kalang kabut, penuh intrik, penuh konflik, ditambah dengan duka yang berkepanjangan yang dialami oleh jutaan anak manusia tak berdosa, ibu-ibu yang tak berdosa harus rela kehilangan anak dan suaminya karena kena serpihan granat, butiran peluru dan ranjau darat yang setiap saat siap menerkam jiwa mereka, bahkan orang-orang yang ingin membantu meringankan beban sesamanya pun diberondong peluru dan itulah “kebrutalan yang kesekian kalinya dilakukan oleh Israel”.

Dunia kembali diguncang prahara kemanusiaan yang membuat kita tak habis fikir, kenapa begitu biadab, tak berprikemanusiaan, tak punya rasa kemanusiaan dan memiliki sedikit naluri rasa ingin melihat kedamaian dan ketenangan. Israel kembali berulah dengan menembaki, menginterogasi, mensabotase misi agung kemanusiaan lewat konvoi enam kapal dengan membawa 700 orang pengabdi perdamaian untuk lebih kurang 1,5 juta rakyat yang tak berdosa di Jalur Gaza. Sebuah tragedi yang kemanusiaan yang seringkali dan berulangkali dilakonkan oleh rezim despotis dan zalim “Israel”. Masalahnya, apakah dunia hanya Israel?kenapa bangsa kecil ini begitu ditakuti oleh semua negara, bahkan AS dan negara-negara barat pun tak berani mengambil langkah-langkah kongkrit untuk menghentikan kekerdilan Israel yang begitu pede menembaki kapal pembawa misi kemanusiaan dari berbagai negara dunia ini, bahkan belasan relawan kemanusiaan Indonesia pun ikut menjadi korban. Alasannya mungkin saja sederhana, tetapi seringkali juga rumit. Sederhananya adalah karena AS butuh Israel, negara-negara barat butuh Israel atau negara Arab begitu kecut berhadapan dengan isu Nuklir, Kimia dan Biologi yang mungkin dimiliki Israel, atau karena Israel memiliki seperangkat kekuatan baik secara ekonomi, politik maupun keuangan yang menyebar diseluruh dunia dan tak mungkin bisa dikalahkan oleh negara manapun di dunia ini, sehingga Israel dengan begitu tamak dan serakah menari-nari di atas penderitaan bangsa lain. Masalah juga bisa dianggap rumit, karena mengalienasi Israel sebagai sebuah komunitas di tengah-tengah komunitas lain yang rindu perdamaian dan ketenangan, bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan. Buktinya Israel tetap berdiri utuh sebagai sebuah protipe kebiadaban yang selalu mengusik ketenangan negara-negara di dunia khususnya Arab dan berbagai peristiwa perang antara Israel dan Arab, sejarahnya memang Israel jarang kalah. Sebuah testimoni kebiadaban yang sulit diprediksi kapan akan berakhir. Atau mungkin perdamaian butuh jutaan korban lagi, sehingga konflik dan kekerasan baru berhenti dengan sendirinya ketika semua prajurit dan serdadu bersenjata sudah tewas, ketika yang tersisa hanya perempuan dan anak-anak dan ketika mesin-mesin diplomatik sudah kecut memuntahkan peluru basa-basi mediasi maupun negosiasinya?

Tragedi Penembakan; Cermin Rapuh Perdamaian

Selama para pengambil otoritas memiliki naluri dendam akan kesuraman sejarah dan kemudian dijaga dengan rapi dan berlindung di balik baju suara rakyat “Israel”, maka harapan adanya perdamaian di bumi Palestina, ketenangan di Jalur Gaza atau Tepi Barat tidak lebih isapan jempol belaka dari para penguasa tiran yang katanya menjunjung tinggi demokrasi, toleransi dan keberagaman. Nyatanya idiom keberagaman kalah oleh doktrin “uniformitas dan ultranasionalis yang telah mendoktrin dan menghunjam tajam dalam benak bangsa Yahudi”, rupanya idiom demokrasi hanya berhenti dalam argumen-argumen akademik yang justru dihasilkan oleh banyak pemikir-pemikir se-keturunan mereka, rupanya kata toleransi dan menjunjung tinggi keberagaman kalah telak oleh sikap hipokrit “ketika mitos dianggap sebagai hak klaim yang harus selalu dipertahankan, bahwa tanah Yerusalem adalah milik orang-orang Yahudi/Israel”. Krisis Arab-Israel yang sudah berjalan selama hampir seabad ini, seakan memberi pelajaran bagi kita, bahwa beragam pendekatan teori resolusi konflik menjadi mentah dengan sendirinya. Hampir tidak ada teori resolusi konflik yang berhasil dan mampu membuat Israel “sadar” atau rakyat Palestina “yakin” bahwa krisis diantara mereka akan selesai. Entah keegoisan yang sudah melampui batas telah mencecoki benak dan fikir pemimpin Israel atau kelelahan bangsa Palestina menghadapi berbagai bentuk aneksasi terselubung dan permainan kotor politik dari para pendukung Israel (AS dan Sekutunya). Tragedi penembakan terhadap kapal Mavi Marmara berbendera Turki (30/5), adalah lakon antagonis yang sudah kesekian kali diperankan oleh Israel, sebuah bentuk upaya peringatan dari Israel “bahwa meski kami kecil bukan berarti kami kerdil atau sikap megalomaniak perang telah terdoktrin dalam benak-benak para pemimpin mereka yang rindu dengan perang, gemar dengan kekerasan, tega dengan penderitaan dan tidak senang kalau tidak ada musuh”. Setidaknya ini memberi isyarat bahwa cermin perdamaian, cermin toleransi dan demokrasi telah rapuh.

Patahnya berbagai pendekatan resolusi konflik dalam mengawal dan meredakan konflik Israel-Palestina, bukan semata-mata karena ketidakberdayaan pendekatan yang bersangkutan, melainkan kembali ke keinginan pihak yang larut dalam konflik itu sendiri. Pendekatan formal menjadi semakin tidak efektif, manakala konflik Israel-Palestina dipandang hanya sebagai perang atas nama klaim tanah suci, atas nama nasionalisme, atas nama superioritas dan atas nama keangkuhan. Manakala dunia internasional selalu berusaha lari dari fakta dan terus beralibi dengan mengatakan bahwa “tragedi itu seharusnya tidak perlu terjadi” dan Israel harus menghentikan kekejamannya terhadap rakyat Palestina. Nyata Israel tetap bersikukuh dan berdendang ria dalam tarian dan irama tangis anak-anak kecil yang tak berdosa. Problem ini, sudah tidak dapat dilihat dalam kacamata sempit sebagai bentuk upaya mempertahankan doktrin kepercayaan “an sich”, tetapi sudah jauh melebar, melebur dalam irama yang dalam bahasanya Diana Francis (2002) sebagai negosiasi terselubung yang dalam tulisan ini dimaknai secara negatif, dari para maniak perang yang akan diuntungkan secara ekonomi sekaligus politik. Keegoisan para pemimpin Israel telah berjalan jauh melompati kesepakatan nurani yang hakiki dan universal, tidak kenal apakah ini musuh kami atau teman kami. Hasrat super ego yang maunya merusak saja, sudah berkelit-kelindan dalam sistem berfikir mereka. Benar juga kata Dom Helder Camara dalam Spiral of Violence Sheed and Ward (1971), bahwa egoisme segelintir kelompok dengan hak priveledged tertentu telah menggiring umat manusia yang jumlahnya jutaan orang masuk dan terjebak dalam kondisi yang ia sebut sebagai sub human dan akhirnya mengalami ketidakberdayaan, ketidakadilan maupun masa depan yang tidak pasti.

Konflik Israel-Palestina memberi isyarat bahwa peran PBB telah mandul, steril dan tidak perkasa lagi, semua pasal-pasal ideal tentang HAM telah luluh dan tak berdaya, semua pidato politik para pemimpin negara yang katanya menjunjung tinggi demokrasi, pluralisme dan keberagaman telah berubah jadi anekdot dan menjadi bahan tertawaan mereka sendiri ketika perundingan atau pertemuan informal-terselubung dilakukan.

Cermin rapuh ini mungkin hanya bisa dibersihkan, jika semua pihak sepakat bahwa konflik Israel dan Palestina bukanlah agenda perdamaian yang semi tunggal untuk didiskusikan secara serius, melainkan harus menjadi agenda tunggal yang harus benar-benar diseriusi penyelesaiannya. Karenanya PBB diharapkan berperan penting dan lebih tegas lagi, AS dan sekutunya diharapkan memiliki sikap tegas dan semua negara yang sepakat dengan perdamaian, semua yang sepakat dengan penegakan HAM harus bersikap tegas dan memiliki posisi jelas untuk mengalienasi ketamakan Israel dan merespons dengan sigap kesedihan dan penderitaan berkepanjangan rakyat Palestina.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun