Mohon tunggu...
Ardyan Amroellah
Ardyan Amroellah Mohon Tunggu... -

Lelaki biasa

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Segenggam Gumam untuk Rani

17 Juli 2011   11:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:36 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kutuliskan segenggam gumam untukmu Rani, diantara keringnya Sungai Serang yang mengairi Kedungombo dan jembatan Suramadu yang sudah "cacat" ketika berusia baru berpuluh hari. Hingga butiran-butiran jam kembali membalik halaman lama di 15 kali revolusi bumi pada matahari silam, kala kita masih memegang idealisme dengsn kuat, pernah kutawarkan berjuta mimpi untuk menggagahi segala kesepianmu, dan kau menjawab dengan diam. Di sela-sela ocehan burung Siak, pernah pula sampai kupanjatkan doa, atau bahkan harum kemenyan hanya agar kau menyajikan ruang kosongmu dihati, namun aku dikabari malam tua, jika semuanya memang tak tertakdir sama, lalu kuhaturkan urungan niat untuk meminang. Aku menyerah, namun tak bertumbuh dendam hati, apalagi sampai harus sehina bunuh diri.

Tanggal-tanggal terbakar sampai pada hari ini. Terus beranjak. Aku tak berubah warna, masih berasal dari suku yang terbuang dari saratnya hidup yang makin berjejal. Bertahan hidup dari cerita masa yang dikatakan banyak orang sebagai masa kebangkitan. Seperti yang pernah kau ucapkan padaku, masa lalu adalah kenangan, masa kini adalah perjuangan, dan masa depan adalah hadiah. Hadiah? Bohong besar, sebab langit tak mau mencerahkan suram dalam panjatku untukmu. Akhirnya aku tenggelam bersama bungkusan detik yang sia-sia. Lalu segenggam gumamku itu menjadi sekeranjang makian untukmu. Larut bersama sekain jernih.

§§§

Penghujan kali ini menjahili otakku, tetesan yang menghibur bumi. Juga bilangan rinainya yang telah menemani 36 tahun sejak tangisku yang pertama. Terbersit pikiran nakal. Bagaimana seandainya kau yang bercinta denganku di malam pertama lalu? Bagaimana jika rahimmu yang melahirkan bibit-bibit alam dari darahku? Bagaimana jika kau yang membesarkan dagingku dengan air susumu? Aku rindu menanyakan semua itu padamu Rani. Tapi hasrat ini juga ingin mengenalkan sebuah ladang padamu. Bukan penggantimu, sebab embun pagi di alun-alun kota pernah berkata padaku kau tak bisa tersubstitusi dengan entah dengan siapa, Kau adalah Saphir, jauh lebih kemilau darinya, ia hanya paku, tapi dia bisa memaku semua pigura yang tak sempurnaku dengan nafasnya. Dan ladang itu sedang membesarkan 2 pohon untukku, pohon tempat harapku tersandar bahwa bisa seelok kau dan setampan aku. Pohon yang saat ini masih kupupuk agar mampu berbuah manfaat bagi pemetiknya.

"Ayah, siapa dalam foto ini?" anak lelaki sulungku bertanya pagi tadi,

Aku kaget. Foto itu, beberapa hari lalu kubuang di tempat sampah, mengapa bisa sampai kembali lagi di telapak tangan mungilnya?

"Hah....?! Oh itu....? Hm....Itu sahabat ayah dulu ketika masih sekolah. Kenapa?"

"Cantik sekali Yah, tapi hmmm....lebih cantikan ibu. Ini pacar ayah ya?"

Aku sekali lagi kaget,

"Hush....!! Itu teman ayah. Lha, adik dapat dari mana foto itu?" aku menanyainya,

"Dari tempat sampah di depan...."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun