RITUAL UPACARA ADAT DI SULAWESI UTARA
(Sebuah Kajian Sosio-Psikologi)
Oleh: Triaprila Julhaira Hirto
(Mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawinata Tamansiswa Yogyakarta)
Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya harus berinteraksi dengan orang lain, dan oleh karenanya manusia cenderung hidup berkelompok dan bermasyarakat. Kelompok-kelompok ini kemudian bersepakat membuat aturan-aturan yang mengatur sikap dan bertingkah laku dalam lingkungannya. Aturan ini kemudian berkembang menjadi prinsip, pedoman dan pandangan hidup sebuah masyarakat yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh setiap individu dalam masyarakat tersebut. Pandangan hidup suatu komunitas masyarakat sangat mempengaruhi tingkah laku individu yang hidup dalam lingkungan masyarakat tersebut, sehingga apabila seseorang ingin bergaul dan bertahan hidup dalam kelompok masyarakat tertentu, maka ia harus dapat mengetahui dan mengenal kebiasaan (adat), pandangan (prinsip) hidup dan aturan-aturan (norma) yang berlaku dalam masyarakat itu.
Seperti kebudayaan di Sulawesi Utara, selain kaya akan sumber daya alam Sulawesi Utara juga kaya akan seni dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Berbagai seni dan budaya dari berbagai suku yang ada di Provinsi Sulawesi Utara justru menjadikan daerah nyiur melambai semakin indah dan mempesona. Berbagai pentas seni dan budaya maupun tradisi dari nenek moyang memberikan warna tersendiri bagi provinsi yang terkenal akan kecantikan dan ketampanan nyong (cowok) dan nona (cewek) Manado. Secara garis besar penduduk di Sulawesi Utara terdiri atas4 suku besar yakni, Minahasa, Sangihe, Talaud, dan Mangondo, keempat suku ini memiliki bahasa dan tradisi yang berbeda-beda. Berikut ini penulis mencoba menguraikan beberapa (kebudayaan) upacara adat yang ada di Sulawesi Utara.
Budaya Mapalus. Mapalus merupakan sebuah tradisi budaya suku Minahasa dimana dalam mengerjakan segala sesuatu dilakukan secara bersama-sama atau gotong-royong, Mapalus juga dikenal sebagai local spirit and local wisdom masyarakat Minahasa. Salain Mapulus, juga ada perayaan Tulude. Perayaan Tulude atau kunci taong (kunci tahun) dilaksankan pada setiap akhir bulan januari dan diisi dengan acara adat yang bersifat keagamaan dimana ungkapan puji dan syukur terhadap sang pencipta oleh karena berkat dan rahmat yang telah diterima pada tahun yang berlalu sambil memohon berkat serta pengampunan dosa sebagai bekal hidup tahun yang baru. Selain Mapulus dan dan perasaan Tulude, festival figura juga menjadi kebiasaan (upacara adat) masyarakat Sulawesi Utara yang di adopsi dari kesenian Yunani klasik. Seni ini lebih dekat dengan seni menirukan tingkah laku atau watak dari seseorang tokoh yang dikenal atau diciptakan. Figura merupakan kesenian yang dapat menghadirkan dramaturgi pendek terhadap sosok atau perilaku tokoh-tokoh yang dianggap berperan dalam mengisi tradisi baik buruknya sosok dan watak seorang manusia. Oleh pemerintah kota Manado festival figura diselenggarakan dalam rangka pesta kunci taong (kunci tahun) layaknya perayaan tulude yang dilaksanakan oleh masyarakat Sangihe.
Seperti didaerah lainnya, Toa Pe Kong atau Cap Go Meh juga menjadi salah satu peraaayan adat di Selawesi Utara. Perayaan/upacara ini juga rutin dilaksanakan di Sulawesi Utara, terlebih di Kota Manado. Upacara ini dimeriahkan dengan atraksi dari Ince Pia yakni seorang yang memotong-motong badan dan mengiris lidah dengan pedang yang tajam serta menusuk pipi dengan jarum besar yang tajam akan tetapi si Ince Pia tidak terluka. Sebagai bentuk rasa syukur masyarakat Seulawesi Utara, ritual pengucapan syukur juga merupakan tradisi masyarakat Minahasa yang mengucap syukur atas segala berkat yang telah Tuhan berikan. Biasanya pengucapan syukur dilaksanakan setelah panen dan dikaitkan dengan acara keagamaan untuk mensyukuri berkat Tuhan yang dirasakan terlebih panen yang dinikmati. Acara pengucapan syukur ini dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat suku Minahasa pada hari Minggu, umumnya antara bulan Juni hingga Agustus. Saat pengucapan syukur hampir setiap keluarga menyediakan makanan untuk para tamu yang akan datang berkunjung, terlebih makanan khas seperti nasi jaha dan dodol.
Sebuah Kajian Sosio-Psikologi
Faktor sosio-psikologis adalah proses sosial dimana seseorang memperoleh beberapa karakteristik yang mempengarahi perilakunya, hal ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kamponen yaitu komponen afektif, komponen kognitif, dan kornponen konatif. Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosio-psikologis. Komponen kognitif adalah aspek intelektual, yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia. Sedangkan komponen konatif adalah aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Motif sosiogenesis juga kajian khusus dalam mendeskripsikan perilaku/kebiasaan suatu masyarakat. Motif sosiaogenesis juga sering disebut motif sekufider sebagai lawan motif primer (motif biologis), sebetulnya bukan motif anak bawang. Tetapi peranannya dalam membentuk perilaku sosial sangat menentukan. W.I. Thomas dan Florian Znaniecki menguraikan motif sosiogenesis sebagai keinginan memperoleh pengalaman baru, keinginan untuk mendapat respons, keinginan akan pengakuati, dan keinginan akan rasa aman. Sedangkan David McCleiland mengemukakan bahwa motif sosiogenesis sebagai kebutuhan berprestasi (need for achieveinent), kebutuhan akan kasih sayang (need for afflliation), dan kebutuhan berkuasa (need for power).
Cavalli (dalam Berry, 1999) mengenalkan adanya pewarisan budaya dengan model “pewarisan tegak” atau vertikal yang diwariskan dari orang tua kepada anak keturunannya. Orang tua mewariskan nilai, keyakinan, keterampilan dan motif budaya kepada anak cucunya. Dengan demikian, seseorang yang belajar tentang nilai-nilai, keyakinan, dan sejenisnya dari teman atau kerabat sebaya, maka pewarisan tersebut disebut sebagai pewarisan horisontal. Pewarisan juga terjadi dalam pewarisan perilaku kontrol diri. Kemampuan mengontrol diri merupakan warisan dari generasi satu kepada generasi berikutnya, melalui gaya pengasuhan orang tua, ataupun diperoleh dari dengan melihat perilaku orang-orang di sekitarnya. Pengendalian diri sebagai sikap mental seseorang akan tercermin dalam cara seseorang menyikapi sesuatu dan berinteraksi dengan orang lain, karena itu pengendalian seseorang akan terlihat setelah seseorang berinteraksi dengan orang lain. Kontrol diri (self control) iniakan dimanifestasikan dalam aspek toleransi, empati dan kedisiplinan.
Dari berbagai perspektif diatas, penulis menyimpulkan beberapa hal. Pertama, sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Jadi, pada kenyataannya tidak ada istilah sikap yang berdiri sendiri. Sikap haruslah diikuti oleh kata terhadap, atau pada objek sikap. Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan sekadar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu; menentukan apa yang disukai, diharapkan, dan diinginkan; mengesampingkan apa yang tidak diinginkan, apa yang harus dihindari (Sherif dan Sherif, 1956). Ketiga, sikap relatif lebih menetap. Berbagai studi menunjukkan bahwa sikap politik kelompok cenderung dipertahankan dan jarang merigalami perubahan. Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan, sehingga Bern memberikan definisi sederhana: Attitudes are like and dislike (Bern, 1970). Kelima, sikap timbul dari pengalaman; tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H