Mohon tunggu...
Amrillah M
Amrillah M Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Negeri "Lullaby"

13 April 2018   19:15 Diperbarui: 13 April 2018   19:22 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: posters.cz/fototapety

Aku heran kenapa dikutuk menjadi serupa manusia di negeri ini.  Mungkin Dewa sedang menunjukkan kemurah-hatiannya kepadaku. Kali ini aku tidak akan protes lagi.

Tersadar, aku dikelilingi pepohonan besar, kicauan burung sesekali memanggilku untuk mencari keberadaan mereka. Berterbangan silih berganti dengan warna-warni berpadu, sungguh indah. Suasananya hangat, angin-angin lembut membelai wajahku. Beberapa langkah di depanku terhampar luas danau dengan air yang jernih, berpantul dengan cahaya sang Dewa dari kejauhan. Sejenak ku memejamkan mata, "Ampuni aku Dewa, Kau begitu murah hati." Menurutku negeri ini tak jauh beda dengan Khayangan, indah berseri dan hijau. Apa mungkin Dewa tidak mengeluarkanku dari Khayangan?

Aku mendekati danau itu, melihat pantulan wajah manusiaku di sana. Sering kali ku dengar Dewa murka karena banyak dari kalian yang tidak bersyukur. Mataku hitam kecokelatan, dengan alis mata yang agak tebal. Rahangku juga tegas, dengan rambut-rambut disekitar wajahku. Sesekali aku raba kulit wajah kenyal ini, kulit tangan yang agak berbulu, kucubit-cubit sedikit. Beruntunglah kalian bisa merasakan sakit, karena sakit bisa membuat kalian tetap bersyukur. Entah mengapa aku ingin sekali merasakan air danau yang begitu bening itu, kuambil dengan kedua tanganku. Segar pikirku.

Tak lama, dari kejauhan terdengar suara seperti raungan binatang besar, aku berpikir wajar di alam bebas seperti ini. Lama-kelamaan suaranya cukup aneh, bukan seperti binatang buas. Lebih seperti besi-besi berderak. Aku melihat sosok gelap dikejauhan dengan suara besar itu semakin mendekat. Bising sekali pikirku. Tak lama dari itu aku bisa melihat dengan jelas bentuknya, sebuah kapal besi besar dengan bunyi sirene mengaung berulang-ulang. 

Kapal itu berwarna abu-abu pekat dengan tiga buah senjata besar diatas dek depannya. Senjata besar itu seolah mengintimidasiku untuk diam di tempat. Disekelilingnya ada lebih dari enam kapal yang ukurannya lebih kecil, dengan kecepatan bagai lebah. Dua kapal kecil sampai di depanku, suara kapal-kapal kecil itu tidak sebising kapal besar, tetapi cukup membuatku mual dan pengang.

Aku melihat ada empat orang laki-laki berbaju loreng hijau turun dari kapal itu. Sosok mereka hampir mirip dan tegap, kukira lebih tinggi dariku. Salah satu mata mereka berwarna biru terang, semakin terang, cahanya langsung menyergap masuk ke bola sebelah kiriku. Belum sempat ku mengelak, rasa mual yang kurasa kini berubah menjadi sakit di kepalaku. Pandanganku seketika kabur. Badanku runtuh, terhuyung lemas. Aku merasa mukaku mengenai air pinggiran danau. Sesak. Gelap.

--

"Hei, steril." 

Suaranya membuatku sadar. Buram. Seketika aku kanget melihat wajah manusia itu sangat mirip dengan empat laki-laki yang membuatku pusing sebelumnya. Namun kali ini, matanya tidak menyala terang. Mata kanan itu ku perhatikan seperti sebuah layar bening yang memantulkan beberapa tulisan-tulisan kecil yang tidak bisa ku lihat jelas. Aku heran karena manusia tidak seperti ini. Dewa menyerupaiku tubuh sebagai seorang manusia. Sosok yang ada di depan mataku, bukanlah manusia. Seketika ku tidak bergerak, apa ini Dewa palsu yang manusia sembah? Dewa memang sering kali merasa dilecehkan karena manusia menyembah selain diri-Nya.

"Wow, santai saja steril". Dia  mencoba sedikit menenangkanku, namun dengan nada yang cukup sinis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun