Guru Bersertifikasi Vs Guru Berkarakter: Sebuah Otokritik
Oleh: Amri Ikhsan*)
Sertifikasi guru merupakan ajang dan arena bagi guru untuk pembuktian peningkatan kualitas intelektual profesi pendidik. Guru-guru yang sudah lolos sertifikasi sudah saatnya menunjukkan peningkatan kompetensi dan profesionalisme dalam menjalankan proses pembelajaran dengan mengubah pola kerja yang lebih konstruktif. Jika guru tidak mengubah pola kerjanya, proses pembelajaran tidak akan pernah bisa berubah meskipun kurikulum dan segala perangkat pendidikan yang lain dibongkar.
Untuk itu, Ketua Umum PGRI Sulistiyo, mengingatkan guru untuk introspeksi diri apakah sudah menjalankan tugasnya secara profesional. PGRI menilai isu profesionalisme guru ini harus mendapat perhatian serius karena tidak akan pernah ada pendidikan yang bermutu jika kualitas gurunya pun tidak bermutu. Guru harus didorong untuk mengembangkan profesionalismenya (Kompas, 24/11)
Banyak kalangan mengatakan bahwa saat ini program sertifikasi tersebut justru tidak menyentuh sama sekali persoalan kualitas seperti yang termaktub dalam Undang-Undang RI No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) dan Peraturan Pemerintah RI No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional. Sertifikasi tak lebih bertujuan untuk memperbaiki pendapatan guru. Ada yang menilai niat sertifikasi itu baik, hanya praktiknya yang banyak mengambil jalan pintas (shortcut) dan sertifikasi itu hanya sebagai pembuka jalan, bukan penunjuk sebuah kualitas guru atau kepiawaian dia sebagai pendidik (Kompas, 24/11).
Guru bersertifikasi itu sangat mengagungkan kegiatan masa lalu, dia selalu ‘bernostalgia’ dengan apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Dia juga selalu membanggakan dan mengandalkan apa yang sudah diperbuat di zaman ‘bengen’. Tugas dia cuma satu yaitu mengumpulkan sertifikat, piagam penghargaan, SK, surat keterangan yang telah terjadi dimasa lalu. Apabila dia ditanya kemampuannya atau kualitas proses pembelajarannya dia akan menjawab: “Lihat saja dalam dokumen portofolio saya!”.
Sedangkan guru berkarakter berprinsip bahwa yang berlalu biarlah berlalu (let be bygone be bygone). Jadikanlah pengalaman masa lalu sebagai pelajaran di masa sekarang dan yang akan datang. Menurut guru yang berkarakter, segudang piagam, sertifikat, SK, Surat keterangan, tanda penghargaan yang diterima dimasa lalu bukanlah ‘dewa penolong’ untuk bekerja kreatif dimasa sekarang.
Bagi guru bersertifikasi, jumlah jam mengajar adalah sangat penting dalam pekerjaannya. Mengajar 24 jam perminggu merupakan sesuatu yang mutlak tidak bisa ditawar. Kalau mengajar kurang dari 24 jam merupakan ‘neraka’ bagi guru tersebut. Untuk itu, guru yang bersertifikasi akan berusaha semaksimal mungkin dan mengerah segala kekuatan untuk mendapatkan jam mengajar 24 jam perminggu. Kadang kadang dia tidak peduli apakah guru yang lain juga belum mendapatkan jam sebanyak itu. Untuk mencukupi kuota jam itu, langkah pertama yang dia lakukan adalah ‘berpura-pura’ sanggup mengajarkan mata pelajaran lain yang bukan jurusannya, walaupun sebenarnya tidak menguasainya. Langkah kedua yang mungkin dia lakukan adalah ‘membujuk’ sekolah swasta untuk memberi dia jam mengajar walaupun tidak dibayar. Ternyata, sekolah swasta sering tidak mau menerima ‘guru semacam ini’, karena sebelum proses sertifikasi, para guru ini sering ditawarkan untuk mengajar di sekolah itu tapi ditolak oleh guru itu.
Sedangkan bagi guru berkarakter, jumlah jam mengajar bukanlah hal “luar biasa”. Yang terpenting adalah bagaimana mempertanggung jawabkan proses pembelajaran kepada stakeholder. Menurut guru itu, mendidik adalah membina peserta didik secara maksimal dan berdaya guna, bukan memaksakan diri untuk mengajar 24 jam atau ‘berlari kesana kemari’ untuk mengajar disekolah lain.
Bagi guru bersertifikasi yang tidak lulus portofolio, dia akan mengikuti diklat selama 10 hari. Di diklat itu dia diajari, ditempa, dilatih, sehingga setelah diklat itu dia ‘menjelma’ menjadi manusia baru nan sempurna yang diberi gelar guru profesional. Menurut guru itu, membaca buku referensi tentang pendidikan, tentang proses pembelajaran tidak diperlukan lagi, yang penting adalah ‘mendengar ceramah langsung’ dari narasumber merupakan satu satu informasi yang bisa dipercaya untuk meningkat kualitas diri.
Untuk guru berkarakter, kalau klaim yang mengatakan dia belum berhasil pada suatu kegiatan, dia akan intropeksi diri. Kalau dia dikatakan belum berhasil dalam proses pembelajaran, dia akan melakukan ‘survey’ pada peserta didik dan mencari tahu dimana letak kelemahannya dalam proses pembelajaran sekaligus dia ‘buka kitab’ sebagai referensi, mengakses informasi dari koran, majalah, internet, dll. untuk memperbaiki proses pembelajaran selama ini. Bagi guru berkarakter, ‘diklat’ itu sepanjang waktu, sepanjang hayat dikandung badan, tidak ada batasnya (long-life education).
Kreatifitas guru bersertifikasi ada batasnya; sampai dinyatakan resmi sebagai seorang guru professional ditandai dengan penyerahan sertifikat. Sebelum mendapatkan sertifikat itu, dia akan mengerah segenap daya dan bekerja sekuat tenaga untuk mengikuti seminar, workshop, dll, ‘aktif seaktif aktifnya’ dalam kegiatan sekolah baik intra maupun ekstra dan juga kegiatan di masyarakat dalam rangka mengumpulkan SK panitia dan sertifikat penghargaan. Kadang-kadang mereka berniat: “sengaja aku ikut seminar untuk menambah nilai portofolio saya”.
Sedangkan kreatifitas guru berkarakter tanpa batas, dia berusaha kreatif sepanjang waktu. Kalau dia tidak punya kesempatan untuk ikut seminar atau workshop, dia akan belajar sendiri (outodidak). Niatnya untuk ikut seminar semata mata ingin mendapatkan pengalaman dan wawasan baru baru tentang pendidikan yang akan diimplementasikan dalam proses pembelajarannya.
Dalam rangka penilaian kinerja, guru bersertifikasi dinilai oleh kepala sekolah sebagai atasan langsung yang diketuhui oleh pengawas satuan pendidikan. Memang, masa depan dan karirnya sangat tergantung pada penilaian ini. Tapi bagi guru berkarakter, penilaian keberhasilan dan kinerjanya diserahkan pada peserta didik yang benar benar merasakan langsung kinerjanya selama proses pembelajaran. Dia juga memberi kesempatan kepada stakeholder yang lain untuk menilai sekaligus memberi masukan untuk kinerjanya dimasa yang akan datang.
Disisi lain, guru merupakan garda terdepan dunia pendidikan yang langsung ada di lapangan dan berhadapan dengan siswa. Dari tangan gurulah masa depan siswa ditentukan. Baik buruknya pendidikan siwa di sekolah berada di tangan seorang guru. Oleh karena itu karakter seorang guru yang layak diteladani merupakan dambaan stakeholder pendidikan. Segala sikap, tutur kata, tindak tanduk dan perbuatan guru baik dalam mengajar di sekolah maupun dalam kehidupan di masyarakat selalu menjadi perhatian.
Guru sebagai tenaga pendidikan secara substantif memegang peranan tidak hanya melakukan pengajaran atau transfer ilmu pengetahuan (kognitif), tetapi juga dituntut untuk mampu memberikan bimbingan dan pelatihan. Di dalam PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru ditegaskan pada pasal 1 bahwa: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Maka, mengidamkan guru yang berkarakter harus secara holistik (menyeluruh) yang mengintegrasikan dimensi moral pendidikan dengan ranah sosial dan masyarakat. Sikap dan nilai dasar ini dikomunikasikan, diidentifikasikan dari masyarakat dan dilegalisasikan lewat pendidikan di sekolah. Diyakini, pendidikan yang dilaksanakan oleh guru yang berkarakter kuat mempunyai nilai tambah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dari sini kewibawaan, ketegasan, kedisiplinan, tanggung jawab, rasa sosial, sabar, kasih sayang, simpati, empati dan moralitas guru terbina. Diperlukan sebuah kesepakatan pemahaman dan aktualisasi pelaksanaan dalam sebuah keseragaman pendidikan sangat dinantikan. Minimal disamakan persepsi dalam kebutuhan bahwa guru harus cerdas, berkualitas, inspiratif dan mempunyai niat, kesungguhan, hati nurani dalam bekerja untuk mencerdaskan anak bangsa dengan melakukan pendampingan secara total.
Thomas Lickona (1991) mengatakan bahwa pendidikan karakter sebuah usaha sengaja untuk menolong orang agar memahami, peduli akan dan bertindak atas dasar nilai-nilai etis. Dari sini jelas sekali bahwa sebuah karakter merupakan bentuk bela rasa untuk mengerti, memahami, menolong, melaksanakan dengan semangat rela berkorban dengan tidak melepaskan diri dari koridor norma yang berlaku.
Untuk menjadikan guru yang ideal dan berkarakter selalu harus diutamakan. Umumnya siswa akan mengenang, mengingat dan meniru apa yang diwariskan oleh gurunya. Disini, tugas berat guru untuk mentrasformasikan nilai positif setiap saat demi pendidikan yang berkarakter. Menjadikan pendidikan dengan fondasi guru yang berkarakter merupakan sebuah modal untuk menjadikan manusia (siswa) berbudaya. Diperlu sebuah perubahan sistem dan pola pikir (mindset), bagaimanapun pendidikan merupakan sebuah proses. Diperlu pula sebuah nilai (value) karakter dan kepribadian yang ditransformasikan kepada siswa. Anita Lie (2007) mengatakan bahwa untuk melaksanakan pendidikan berkarakter perlu model pembelajaran 5 P: Pembelajaran, peneladanan, pembiasaan, pembudayaan dan perubahan.
Kepada para guru, mari kita buktikan bahwa sertifikasi tidak hanya menambah kesejahteraan tetapi juga menambah kualitas proses pembelajaran. Semoga!
*)Pemerhati Pendidikan, Guru MAN Muara Bulian. Kabupaten Batanghari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H