Mohon tunggu...
amri ikhsan
amri ikhsan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

seorang guru yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Refleksi Ujian Nasional 2013

30 April 2013   20:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:21 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Refleksi Ujian Nasional 2013

Oleh: Amri Ikhsan*)

Setiap tahun UN selalu ‘menyedot’ perhatian publik dikarenakan peyelenggaraannya, menurut banyak kalangan, masih kontroversial. Kita disuguhkan ‘perang kata-kata’ antar pihak yang pro dan yang kontra. Kita mengamini pernyataan mantan Wapres JK bahwa guru menilai apa yang diajarkan sedangkan UN menilai apa yang seharusnya menilai. Tapi ada hal-hal yang seharusnya dipertimbangkan dalam rangka penyelengaraan UN dalam rangka menyelamatkan ‘anak bangsa.

Pertama, UN menyamaratakan kultur budaya Indonesia yang sudah jelas berbeda beda. Semboyan negara kita sudah jelas Bhinnika Tunggal Ika. Dalam segi pendidikan, ada sebuah daerah yang menganggap pendidikan merupakan simbul ‘keberhasilan’ keluarga, mereka sangat peduli dengan pendidikan anak-anak mereka, tidak apa tidak punya rumah, asal anak berhasil dalam pendidikan. Tapi ada juga daerah yang menganggap pendidikan bukan lah hal yang begitu penting, yang penting rumah bagus, kebun banyak, dsb, yang penting anak sudah sekolah.

Kedua, pelaksanaan Ujian nasional dianggap tak sesuai dengan hukum karena sebelumnya Mahkamah Agung (MA) telah memenangkan gugatan citizen lawsuit terkait penyelenggaraan UN pada 2009. Walaupun kemdikbud berargumentasi bahwa ‘tak satu kalimat pun dalam keputusan MA itu meminta pemerintah menghentikan UN.Secara legal, keputusan MA masih memberikan ruang bagi pemerintah untuk tetap menyelenggarakan ujian nasional asalkan pemerintah meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, serta mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik akibat penyelenggaraan ujian nasional.

Ketiga,hasil UN menentukan kelulusan siswa. Walau ada porsi 40% nilai sekolah dan 60% nilai UN. Walaupun Kemdikbud mengatakan bahwa UN bukan penentu kelulusan. Tetapi pengumuman hasil UN menyatakan status siswa: LULUS/TIDAK LULUS. Jelas sekali bahwa UN telah ‘memvonis’ kelulusan siswa.

Keempat, UN menganggap siswa Indonesia ‘tukang contek’ dan ‘memotivasi sekolah untuk bersikap manipulatif. Variasi soal 20 paket merupakan ‘pengakuan’ kemdikbud bahwa selama pelaksanaan UN telah terjadi saling contek antar peserta UN yang selama ini selalu dibantah.UN juga memberi ‘pintu’ bagi sekolah untuk ‘mendongkrak’ nilai sekolah karena sekolah diberi kesempatan untuk ‘menyumbang’ 40% nilai untuk kelulusan. Dan ini ‘tidak salah’ karena ini merupakan semangat sekolah untuk menyelamatkan masa depan siswa.

UN juga ‘mengacaukan’ program sekolah. Sekolah ‘melupakan’ semua kegiatan akademik yang lain hanya karena UN. Prinsip sebagian sekolah adalah lebih baik ilmu siswa ‘sedikit’ hanya untuk lulus UN dari pada ‘ilmu’ siswa banyak tapi tidak lulus UN.UN membuat motivasi belajar siswa ‘meningkat tajam’. Semangat belajar siswa berubah, berubah menjadi ‘pemburu’ nilai tinggi dan semangat guru mengajar juga berubah, berubah menjadi ‘tukang sulap’ yang ingin menyulap siswa menjadi pintar sesaat hanya untuk UN. Semangat kepala sekolah juga berubah, ingin mendapatkan prestise dari masyarakat tentang keberhasilannya dalam meluluskan siswa 100%.

Ini ditambah lagi dengan ‘para oknum’ yang menjual-beli kunci jawaban dengan berbagai macam modus. Ini membuat siswa yang ‘kurang’ percaya diri menghadapi UN betambah tidak percaya diri.

Kelima, UN tidak percaya dengan guru. Ini terindikasi dari POS pengawasan UN: pengawasan silang antar sekolah dan pengawasan dari PT dan pengawasan dari pihak kepolisian. Dan yang lebih menyedihkan ketidak percayaan kepada sekolah juga terlihat dari disimpannya naskah soal di Kapolsek terdekat.

Keenam, biaya penyelenggaraan UN yang relatif besar tapi tidak sebanding dengan kualitas penyelenggaraan. Sepert, tipisnya kertaslembar jawaban. Ketika siswa mengganti jawaban yang salah dengan cara menghapus, kertas lembar jawaban mudah sobek. Biaya membengkak karena melibatkan TNI AU. Belum terhitung kerja lembur yang tidak gratis. Dari mana biaya ini akan diambil. Karena dalam anggaran yang diajukan ke DPR, tidak termasuk biaya kegagalan (Kompas online). Ditambah lagi dengan biaya ‘petugas’ yang memindahkan jawaban UN dari kertas biasa ke LJUN.

Alangkah baiknya biaya penyelenggaraan UN yang begitu besar tahun ini mencapai Rp 600 miliar, digunakan untuk peningkatan kualitas guru, akses perpustakaan, laboratorium sekolah, renovasi sekolah yang rusak, dan pembenahan sarana dan prasarana pendidikan lainnya. Ini belum termasuk biaya-biaya terkait UN yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, sekolah, berapa banyak mengeluarkan biaya-biaya lain diluar yang ditanggung pemerintah, dan orangtua siswa, berapa banyak biaya yang dikeluarkan orang tuan untuk bimbel anak anak mereka.

Ketujuh, seharus kita mestinya mempertimbang hal yang dilupakan pemerintah dalam melaksanakan UN: (1) dalam hal kelulusan UN, bangsa Indonesia menjadi pemalu. Ketidaklulusan UN merupakan ‘aib’ bagi keluarga. Secara psikologis, anak menjadi trauma yang akan ‘mengganggu’ kehidupan akademik mereka; (2) Siswa yang belum lulus UN merupakan siswa yang ‘belum’ mau belajar, bukan karena bodoh atau malas tapi karena pada waktu itu, mereka belum menemukan ‘jati diri’ mereka atau tidak ada akses mereka untuk belajar; (3) tidak lulus UN menambah jumlah penggangguran, karena tidak lulus UN membuat siswa ‘patah hati’. Karena tidak lulus, mereka ‘dipastikan’ tidak bisa kuliah. Padahal sebagian mereka sangat berpotensi untuk duduk di perguruan tinggi. Niat mereka terganjal hanya karena tidak lulus UN; (4) tidak lulus UN menghambat anak negeri ingin berpartisipasi membangun negeridan membantu keluarganya. Banyak anak negeri yang mengandalkan ijazah SMA/MA untuk mencari pekerjaan. Anak mau membangun negeri dan membantu keluarganya.

Tidak apa-apa UN dilaksanakan asalkan UN itu ‘ramah’ dengan siswa dan guru.

*) Pemerhati Pendidikan, Guru MAN Muara Bulian dan Dosen STAI Muara Bulian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun