Mohon tunggu...
amri ikhsan
amri ikhsan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

seorang guru yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Renungan di Hari Guru (Memperingati Hari Guru 25 November)

26 November 2013   07:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:40 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Renungan di Hari Guru

(Memperingati Hari Guru 25 November)

Oleh: Amri Ikhsan*)

Tak seorangpun yang bisa melupakan gurunya, karena guru itu berjasa mengubah gaya hidup ‘muridnya’. Gurulah yang membuat kita seperti sekarang. Pemerintah menyadari hal ini maka dibuat UU, PP, Permen sampai Perdirjen untuk ‘mengawal’ guru dalam menjalankan tugasnya. Bukan hanya itu, UUD mewajibkan 20% APBN harus dialokasikan untuk pendidikan, sekaligus menggelontorkan dana yang besar untuk sertifikasi guru. Mulai saat itulah guru mulai ‘tersenyum’. Sudah banyak negara ini ‘berkorban’ untuk ‘kebahagiaan’ guru. Apakah kita sudah menyadarinya?

Guru... guru merupakan ’tokoh kunci’ dalam menghidupkan proses pembelajaranuntuk membelajarkan siswa. Proses ini tentu saja tidak terjadi begitu saja. Kita akan bisa berkomunikasi efektif apabila memiliki kompetensi pragmatik. Pragmatik adalah ilmu yang mempelajari bagaimana menggunakan bahasa untuk berkomunikasi (Yule, 1996). Ilmu ini membekali para guru untuk ’piawai’ menyampaikan pesan (baca-materi pembelajaran) yang bermakna bagi siswa. Bermakna berarti tuturan guru bisa langsung dicerna siswa sebagai ’bahan baku’ siswa untuk berfikir, karena mengajak siswa berfikir merupakan inti dari proses pembelajaran. Sebuah riset menunjukkan bahwa 90% kontribusi kualitas pendidikan berasal dari kualitas guru, metode belajar yag tepat, dan buku sebagi gerbang imu pengetahuan

Guru..., begitu banyak individu, instansi, organisasi, birokrasi yang mempunyai kewenangan mengurus guru: mulai dari pengawas, kasi, kabid, kepala dinas, kepala kantor kota kabupaten dan propinsi, direktur jenderal, direktur pembinaan, kepala badan, kepala pusat, BSNP, LPMP, Dewan Pendidikan, PGRI,  dll. Pihak-pihak ini ‘berlomba-lomba’ mengurus kita. Tapi, yang diperlukan ‘hanya’ satu: ‘orang’ yang datang ke kelas dan berkata kepada guru: “Bukan begitu cara mengajar, cara mengajar yang baik itu seperti saya mengajar, coba lihat saya mengajar”. Bukan hanya ‘melihat’ daftar hadir, RPP, silabus, dsb.

Guru..., sudah berapa biaya yang sudah dihabiskan pemerintah ‘hanya’ untuk ‘mengajak’ guru untuk mendengar ceramah dalam acara, diklat, workshop, penataran, sosialisasi, pertemuan, seminar tentang guru. Yang dibawa guru pulang hanya kebosanan, kejenuhan karena yang dibicarakan (bukan yang didiskusikan) hanya teori belaka yang tidak real di lapangan. Yang diinginkan guru hanya satu: ‘bagaimana membelajarkan siswa’, bukan teori kurikulum, teori mengajar, apa lagi teori ‘menyalahkan guru’.

Guru..., sekolah disebagian daerah sedang ‘mempercantik diri’ dengan menambah bangunan baru, memrenovasi, menukar atap, mengecat dinding, memasang keramik bahkan ada yang ‘memperbesar’ tiang. Tapi yang diperlukan guru sebenarnya bukan bangunan fisik seperti itu, kami hanya perlu disiapkan media pembelajaran: buku, satu buku satu siswa, kalau bisa satu laptop, satu siswa, koneksi internet, dan software pembelajaran, dll. Untuk apa gedung megah, tapi siswa yang belajar dalam gedung tidak merasa mereka belajar. Laku perubahan sistem pembelajaran ke sistem pembelajaran yang berbasis ICT.

Guru... jadikan Soft power sebagai basis pengembangan pendidikan. Soft power itu kreasi guru dalam memberdayakan kearifan lokal, pemikiran-pemikiran cemerlang dalam rangka “menjadikan peserta didik sebagai subyek yang mengikuti learning process yang bebas dan kreatif…” (Sujana, et. al, 2007: 6). Bagi penentu kebijakan, jadikan soft power guru dalam mengambil kebijakan bukan berdasarkan’kedekatan emosional’.

Guru... peningkatkan mutu pendidikan ‘hanya’ dapat dilakukan dengan mengaplikasikan empat teknik yaitu: 1) School review: seluruh komponen sekolah bekerja sama khususnya dengan orang tua dan tenaga profesional untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas sekolah serta mutu lulusan; 2). Benchmarking: membuat skala prioritas dalam menyusun program dalam suatu periode tertentu; 3). Quality assurance: reward dan punishment bagi kinerja komponen sekolah; 4). Quality control: sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai dengan standar. (Depdiknas, 1998: 180). Bukan dengan membuat aturan untuk ‘menakuti’ guru untuk berada disekolah dari jam 07.00-14.30.

Guru, idealnya guru itu seorang pemikir bukan orang yang difikir. Berdasarkan hasil pemikirannya, hasil analisisnya dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan strategis dalam tugasnya dan diperkaya dengan masukan dan kritikan dari berbagai pihak (kolega, pihak sekolah, pengambil kebijakan, dsb). Karena diyakini bahwa dalam hal hal tertentu, guru itulah yang paling memahami kultur belajar siswa. Ide ide cemerlang dari pihak lain mungkin kelihatan prospektif tetapi belum tentu cocok dengan kultur siswa yang dia ajarkan. Untuk itu, sudah saatnya para guru untuk mengubah paradigma berpikir dalam proses pembelajaran dari seorang ‘follower’ (pengikut setia) ke seorang inovator, dari orang yang dipikirkan menjadi seorang pemikir.

Guru... pastilah kita bertemu dengan situasi berikut: (1) siswa tidak betah di dalam kelas, (2) siswa menjadi ‘pedengar setia’ dalam interaksi kelas, (3) siswa tidak berminat untuk berpartisipasi, (4) siswa membuat ‘keonaran’ dalam proses pembelajaran, (5) siswa mengganggu temannya, (6) siswa malas ke sekolah, (7) siswa ‘menyibukkan diri’ dalam kegiatan ekstra dan ‘melemaskan diri dalam kegiatan intra (baca- belajar), (8) penampilan siswa tidak bergairah, sering ‘mual dan pusing-pusing’ kalau mau belajar, (9) ‘kegirangan’ kalau diumumkan libur dan ‘kesal’ kalau diminta belajar, dsb. Mari kita ‘basmi’ kondisi ini.

Guru..., jika dokter salah memberi obat, maka hanya satu pasien yang menanggung resiko, mungkin pasien itu mati. Tetapi jika kita salah mendidik, maka yang mati bukan hanya akal tetapi hati dan jiwa siswa sekaligus mematikan masa depannya dan masa depan bangsa. Maka, jangan main-main dalam mendidik anak bangsa! Selamat Hari Guru!

*) Pemerhati Pendidikan, Guru MAN Muara Bulian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun